Mukena Untuk Bu Tiah

Ini adalah sepotong cerita manis tentang eskapisme saya di sebuah desa sederhana yang cantik di tepian lembah jauh di pelosok Lebak, Banten. Saya bergabung menjadi sukarelawan komunitas Book For Mountain untuk membangun perpustakaan dan mengajar anak-anak SD di SD Mekarsari II Cibeber. Intro-nya sudah pernah saya tulis di sini.

***

Kami bertujuh, atau setengah dari jumlah sukarelawan seluruhnya, tinggal di sebuah rumah kosong di tengah desa. Meski sudah disediakan kompor gas tetapi kami lebih memilih untuk memasak nasi dengan tungku demi menghemat gas.

Pertamanya ibu itu datang bersama yang lainnya. Sekedar ingin melihat apakah kami mampu menyalakan tungku sendiri. Nyatanya, tiga hari pertama kami selalu gagal, entah karena kayu yang masih basah, api yang labil, atau letak kayu yang tidak pas dengan tungku. Hari-hari berikutnya, si ibu menjadi alarm alami untuk bangun tidur: selepas subuh selalu menyenteri rumah (yang mirip akuarium karena berkaca besar di depan tanpa tirai); membantu menyalakan tungku dan menghangatkan nasi; mengajarkan kami merebus singkong, biji nangka, dan jagung; mengajak kami membuat bakwan jagung dan sayur rebung; hingga mencucikan perkakas makan ketika kami kelelahan sepulang mengajar.

Sekilas ibu itu nampak menyebalkan. Ia selalu masuk tanpa permisi, langsung berjalan ke dapur, dan mengomentari semua yang sedang kami lakukan. Logat sundanya yang khas dengan suara yang keras sering membuat kami kesal dan memilih untuk menanggapi sekenanya. Saya termasuk yang paling sering berinteraksi dengan beliau karena saya ‘anak dapur’, secara tidak resmi didapuk sebagai juru masak tim kami.

Si ibu selalu mengajak kami untuk mampir ke rumahnya yang berada di depan rumah pondokan kami. Tapi kesibukan mendampingi anak-anak membuat kami selalu dengan lembut menolaknya. Hingga akhirnya pada suatu hari yang lengang, saya memutuskan untuk datang ke sana sendirian. Rumahnya sangat sederhana, terbuat dari kayu berbentuk panggung dengan atap seng yang telah tua. Tak saya duga, ia begitu berbinar melihat kedatangan saya. Dengan penuh semangat, ia mengajak saya ke dapurnya dan kami mengobrol sepanjang siang.

"Maaf ya neng, ya beginilah rumah orang nggak punya. Nggak ada apa-apa, jelek sekali." ujar si ibu agak malu-malu.

"Subhanallah ibu, meski rumahnya jelek, yang penting hati pemiliknya kaya…" saya agak kebingungan menjawab pernyataan merendahnya.

Lagi-lagi tanpa saya duga, ia terdiam dan melihat saya dengan tatapannya yang….entahlah, antara sedih atau terharu. Kemudian ia memijat kaki saya dengan gemas sembari berkata "duuh, kenapa cuma seminggu eneng di sini.. Kenapa nggak sebulan.. Nanti ibu kesepian lagi rumah depan nggak ada orang.."

Sepanjang siang, kami mengobrol banyak. Ia menunjukkan kepada saya jagung-jagung yang ia tanam sendiri. Ada juga singkong di pojokan yang katanya akan ia bawa sebagian ke pondokan kami sore nanti. Tumpukan karung gabah hasil menanam padi. Ia bercerita panjang lebar tentang keluarganya, tentang kebahagiaannya karena anaknya, Dimas dipertemukan dengan kakak-kakak mahasiswanya dari Jogjakarta, tentang betapa sederhananya ia menjalani hidup.

"Ibu hari ini baru ngangetin nasi pulang dari sawah. Belum masak, belum nyuci, badan ini capek banget rasanya neng."
"Lhaaa ibu, tau banyak kerjaan kok malah bantu masak di rumah kami?"
"Habis ibu mesti kepikiran, kalian udah ibu anggap anak-anak sendiri, mikir ini anak-anak udah pada makan belom.. pulang dari sekolah udah capek masih harus masak, kasian..." 
"Aaaa ibu….*mimbik-mimbik*"
"Rumah eneng di Jogja pasti rumah gedongan bagus ya neng. Ga jelek kayak rumah ibu ini. Ibu nggak punya apa-apa, cuma bisa bantu itu aja buat kalian. Ibu terima kasih banget kalian sudah datang, anak-anak pada seneng kakak-kakaknya dateng.. Diajari nyanyi sama nari…"

Pada hari terakhir masa tugas kami, ia tak nampak seperti biasanya: duduk di teras rumah bersama warga yang lain. Saya duga, ia di rumah. Rupanya benar ia sedang duduk bersama suaminya yang akan berangkat bekerja. Melihat saya, seperti biasa, ia begitu bersemangat menyuruh saya masuk.

"Ibu kok nggak kesana?"

Ia tak menjawab.

"Bu, hari ini saya dan teman-teman mau pulang. Terima kasih banyak ya atas bantuan dari ibu, saya seneng banget bisa tinggal di sini biar cuma seminggu… Ibu, ini ada mukena yang selama ini saya pake. Saya kasih ke ibu buat kenang-kenangan, biar Ibu selalu ingat kami. Dipake solat ya bu, biar bentuknya sudah ga bagus, talinya sudah lepas, tapi yang penting niat buat ngasih ya bu..."

Dia masih diam. Tiba-tiba, ia memeluk saya dan segera terisak. 

"Loo, ibu kemarin sudah janji ngga bakal nangis..."
"Ibu sedih neng, mau ditinggal.. Kenapa cuma seminggu neng?"
"Teman-teman harus kuliah.. Saya harus cari kerja bu.. Kalau ada rejeki insya allah balik.. Yang penting ibu jangan lupa sama saya."
"Ngga bakal lupa neng.. Makasih ya udah ngajari Dimas macam-macam. Ibu nggak bisa kasih apa-apa.."
"Semua ini lebih dari cukup Bu. Semua ini sangat membantu kami. Besok, ibu saya tunggu di Jogja. Gantian ibu datengin saya.. Nanti saya ajak jalan-jalan."
"Iya neng, kalo eneng nikah jangan lupa undang Ibu.. nanti kalo ibu punya uang pasti dateng neng ke Jogja..."

Air matanya mengalir makin deras. Saya tak tahan untuk tak menangis juga. Ah, akhirnya air mata yang sedari tadi saya tahan tumpah ke pipi. Kami berpelukan cukup lama. Siapa sangka, hanya menjadi tetangga selama seminggu rupanya cukup membuatnya merasa memiliki ikatan batin dengan kami.

Akhirnya ia mau naik ke atas dan ikut melepas kepergian kami. Duh, saya benci perpisahan macam begini. Tapi paling tidak, saya sudah punya memori manis tentangnya dan Mekarsari, sementara ia sudah punya mukena yang akan membuatnya ingat pada kami, anak-anak mahasiswa yang pernah menjadi tetangga depan rumahnya selama satu minggu.

Namanya Ibu Tiah, dia adalah salah satu sosok paling kaya yang pernah saya temui. Tak perlu kaya materi, karena ia telah kaya hati. Ia bahagia dengan kesederhanaannya. Ia puas dalam serba ketiadaannya. Ia potret realita masyarakat marjinal kita. Bertemu orang-orang seperti Bu Tiah akan membuat saya senantiasa mengucap syukur karena masih banyak orang baik di negeri ini. Apakah kita juga bisa menjadi salah satunya?