Ikan, Emas, dan Konflik: Catatan dari Teluk Kao


Teluk Kao yang terletak di pesisir timur pulau Halmahera adalah sebuah jazirah memanjang dari Jailolo di Halmahera Barat hingga Tobelo di Halmahera Utara. Jika berdiri di tepi Teluk Kao kita akan dapat melihat lekuk-lekuk perbukitan Halmahera Timur di kejauhan. Bisa dibayangkan cantiknya lansekap ala postcard ini menjadi halaman belakang rumah kami selama beberapa bulan. Tetapi semua itu terasa ironi dengan pahitnya sejarah lampau yang disimpan dalam-dalam di hati para penduduk Teluk Kao.

Teluk Kao menjadi saksi bisu kehebatan armada-armada perang Jepang di masa Perang Dunia II. Hingga saat ini kita masih dapat melihat bekas haluan kapal terserak di sepanjang pesisir, bahkan masih ada satu bangkai kapal perang Jepang yang karam teronggok di lautan dekat Malifut, Halmahera Utara. Teluk Kao memang terletak dekat dengan Morotai, sebuah pulau gersang di utara Halmahera yang dahulu menjadi basis pertahanan Sekutu untuk melakukan taktik perang lompat kodok demi mengalahkan Jepang.

Pada masa konflik berdarah yang mengatasnamakan agama di seluruh Maluku akhir tahun 90-an lalu, Teluk Kao menjadi salah satu medan perang yang mengerikan. Disebutkan dalam buku terbitan LIPI tentang konflik Maluku Utara, akar penyebab persoalan konflik tersebut tidaklah tunggal. Persoalan kesenjangan sosial, perebutan sumberdaya alam serta pertikaian politik dan birokrasi merupakan faktor penyebab yang dibungkus politik agama yang selama ini diyakini oleh sebagian besar masyarakat. Jejak kekejaman konflik tersebut - yang belakangan saya baca ternyata berawal dari perebutan hak tanah - masih terlihat di berbagai desa pesisir. Desa dibakar habis, nyawa-nyawa melayang begitu saja, eksodus besar-besaran terjadi. Ya, semenjak perang berkobar di tanah Maluku, tidak ada lagi desa yang penduduknya berasal dari beragam kepercayaan. Desa-desa homogen baru pun terbentuk berserakan di sepanjang pesisir, desa muslim, desa kristen, terkotak-kotakkan oleh agama. Di sini, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana isu SARA dapat dengan mudah memecah belah persatuan masyarakat.

Sayangnya, masalah tidak berhenti sampai di situ. Adanya pemekaran wilayah Maluku Utara pada tahun 2000 memunculkan problematika baru yang tak kunjung selesai hingga kini: ketidakjelasan pembagian wilayah kabupaten antara Halmahera Barat dan Halmahera Utara. Total ada enam desa di Teluk Kao, yang hingga kini digantungkan status administratifnya oleh pemerintah sebagai akibat penentuan batas yang tidak jelas ini. Hal ini kemudian memunculkan ketegangan baru di dalam desa-desa itu sendiri, ada yang memilih menjadi penduduk Halbar, ada pula yang ingin menjadi bagian dari Halut.

Hasilnya? Lagi-lagi perpecahan. Di desa tempat saya tinggal, Akelamokao, kini penduduknya 100% muslim. Tidak saya pungkiri bahwa mereka punya sentimen tersendiri terhadap masyarakat beragama nonmuslim dari desa-desa lain. Belasan tahun yang lalu pula terdapat eksodus dari penduduk Akelamokao yang memilih menjadi bagian dari Halut. Mirisnya, mungkin saja dalam satu keluarga, orangtuanya memilih Halbar sementara anaknya memilih Halut. Sementara itu di Desa Tetewang yang penduduknya 100% kristen protestan, konflik masih menjadi momok penduduk desa. Penduduk Tetewang lebih tidak beruntung dari Akelamokao yang dapat mempertahankan desanya. Dahulu Tetewang terletak di gunung tetapi karena konflik agama desa mereka terbakar habis sehingga mereka memindahkan desa ke pesisir. Opa Fredy, seorang yang dituakan oleh penduduklah yang membuka lahan untuk dibangun desa baru. Dan kini, Tetewang sendiri terbagi menjadi dua wilayah kabupaten. Pernah suatu saat saya diajak berjalan-jalan di Tetewang dan saya diminta berhenti kemudian melebarkan kedua kaki. Dengan berseloroh dia memberitahu saya, "Nah, sekarang kaki kanan kamu ada di Halbar, kaki kiri kamu ada di Halut!"

Waktu belasan tahun mungkin tidak cukup untuk menyembuhkan luka lama masyarakat Teluk Kao akan kekejaman konflik agama saat itu. Mereka sudah dapat beraktivitas seperti biasa, tapi ada trauma mendalam yang dapat meledak begitu saja setiap ada api kecil yang memicu. Mereka masih sensitif dan belum dapat menerima kembali perbedaan. Tetapi lagi-lagi masalah tidak berhenti sampai di situ saja.

Opan, seorang anak kerabat tetua desa Akelamokao pernah bercerita panjang lebar kepada kami mengenai betapa makmur dan sejahteranya penduduk Akelamokao bertahun-tahun lalu. Saat itu lautan Kao memberikan apa yang mereka butuhkan berupa hasil laut yang melimpah. Suntung (cumi-cumi), teri, ikan kerapu, dan berbagai tangkapan laut yang dijual mahal ke luar menjadikan dapur mereka tetap mengepul. Sisa-sisa kejayaan masa tersebut dapat terlihat dari rumah-rumah penduduk yang bertembok, berlantai keras, dengan eternit dan atap-atap bergenteng yang kini telah memudar warnanya. Bahkan beberapa mampu menghias pintu-pintu dan jendela. Masih ada perabot-perabot lama yang sudah rapuh tetapi terlihat berharga mahal. Hampir seluruh rumah penduduk dilengkapi parabola yang meskipun kini nampak sudah usang, dulu pasti sangat bagus dan mampu membantu menangkap siaran televisi dari Jawa.

Tapi itu beberapa tahun yang lalu. Opan bercerita, hasil laut menurun drastis semenjak sebuah tambang emas bersaham perusahaan Australia beroperasi di tepi Teluk Kao. Opan menganggap bahwa ikan-ikan menjadi sedikit karena pencemaran laut akibat buangan limbah merkuri dari tambang emas tersebut. Kini untuk mendapatkan suntung dan teri sebanyak yang mereka dapatkan pada masa-masa kejayaan tersebut sudah hampir tidak mungkin lagi. Terkadang para nelayan harus melaut dan tinggal di bagang selama berhari-hari demi mendapatkan hasil laut yang tidak seberapa dibandingkan saat itu. Mata pencaharian masyarakat pun jadi tak tentu, desa Akelamokao seakan nampak begitu sepi dari aktivitas warga akibat mereka absen melaut. Tidak dapat lagi kita bayangkan baris-baris panjang suntung yang dijemur di depan rumah, nelayan yang memperbaiki jaring atau pancing, dan anak-anak yang menyambut kedatangan ayah-ayah mereka dari lautan pada pagi hari yang cerah.

Mereka terduduk diam di rumah, menanti laut Kao kembali dapat memberikan penghidupan yang menjanjikan. Dan Opan sendiri, kini menjadi tenaga security yang mengamankan lokasi tambang emas di Malifut tersebut. Opan yang begitu membenci realitas berkurangnya ikan di Teluk Kao, terpaksa menyerah pada keadaan.

Anak-anak muda Akelamokao adalah calon pelaut hebat. Semenjak kecil mereka sudah terbiasa melaut bersama orang-orang tua dan sudah mafhum mengemudikan sebuah perahu bercadik. Kulit mereka hitam legam dengan perut kotak-kotak yang mempesona. Lengan-lengan berotot mereka nampak sudah terbiasa mengangkat jaring yang berat dari dasar lautan, kaki-kaki mereka pun mampu berlarian dengan lincah di antara lajur-lajur kayu penghubung bagang. Mereka adalah potret nyata masa kini yang membuat kita yakin bahwa Indonesia pernah menjadi negara maritim yang disegani di masa lampau.

Tetapi mereka ikut terkena imbas berkurangnya hasil laut Kao. Anak-anak muda ini tidak dapat melaut sesering dahulu padahal mereka juga tidak bersekolah. Tuntutan hidup yang semakin berat memaksa mereka untuk mencari cara lain mendapatkan uang. Beberapa dari mereka lalu memilih (atau terpaksa) menjadi penambang emas ilegal.


Namanya Onteng, pemuda berumur 19 tahun yang lahir dan besar di Akelamokao. Perawakannya persis seperti yang saya ceritakan pada paragraf sebelumnya. Ia adalah pemuda laut yang tangguh tetapi harus  menjadi penambang ilegal. Ia bercerita dengan begitu bersemangat bagaimana ia keluar masuk hutan, bergerilya dan bersembunyi dari kejaran aparat penjaga tambang, demi mendapatkan butir-butir emas untuk membuatnya hidup lebih layak.

"Saya su biasa ikut orang-orang tua gali tanah di dalam hutan buat cari emas. Atau gali-gali lubang lama yang su ditinggal orang tambang. Biasanya kalau jalur masuk torang ketahuan deng aparat, akan ditutup. Tapi besoknya, torang buka lagi, begitu terus.. Hahaha.."

Rupiah yang diperolehnya dari menambang emas secara ilegal sangat lumayan. Katanya, ia bisa hidup mewah selama beberapa bulan. Sayangnya, Onteng belum terdidik untuk mampu mengatur pendapatan dan belajar tentang pentingnya menabung. Jika ia punya uang dari penjualan emas, uang itu akan digunakannya untuk bersenang-senang di Ternate. Masuk ke klub diskotik dan membeli minuman keras sebanyak yang ia suka. Sesekali bermain perempuan. Bahkan dengan sombongnya, Onteng akan mencarter sebuah speedboat untuk dia gunakan sendiri menyeberang dari Halmahera ke Ternate. Anak-anak kecil di desa pun kecipratan untungnya, mereka akan diberikan lembaran-lembaran merah rupiah secara cuma-cuma oleh Onteng. Sisa uang digunakan untuk makan enak atau memodifikasi motor. Onteng tidak kenal menabung atau berinvestasi. Apa yang ia dapatkan sekarang, harus ia habiskan sekarang. Ia memilih mencari emas lagi daripada uang yang dia dapatkan digunakan untuk membangun usaha atau berdagang. Ia lebih menyukai aliran dana yang datang dengan cepat dan sekaligus (tapi juga cepat habisnya).

Ada banyak Onteng lain di desa Akelamokao. Maka tidak heran perkembangan desa ini nampak begitu lambat karena penduduknya sendiri juga tidak berusaha memajukan desanya. Suramnya masa depan laut Kao tidak membuat mereka tergerak untuk mencari alternatif lain yang menjanjikan. Mereka belum akrab dengan berbagai aktivitas ekonomi seperti berdagang atau punya usaha. Bahkan penjual sayuran di desa kami adalah mas-mas Jawa yang menempuh puluhan kilometer dari desa transmigrasi di Kao. Harga sayuran di pedalaman Maluku Utara terkenal mahal dan pilihannya tidak banyak. Sebenarnya penduduk bisa menanam sendiri di tanah di perbukitan Akelamokao yang sangat subur dan luas. Tapi lagi-lagi, mereka memilih alternatif yang lebih praktis. Satu lagi, apa yang dapat dilakukan di sebuah desa terpencil di mana satu-satunya transportasi menuju kota hanyalah oto sewaan yang berharga selangit?

Tetapi di balik semua hal ironi tersebut, penduduk Akelamokao adalah keluarga baru saya yang begitu sayang pada kami, anak-anak dari Jawa yang datang hanya untuk tinggal sementara. Apabila sudah dianggap saudara, mereka akan mati-matian menjaga dan membuat kita merasa tetap nyaman. Di tengah segala keterbatasan dan kekurangan, mereka masih tahu pentingnya ketulusan dan gotong royong. Saat hari pertama puasa, Pak Imam memerintahkan penduduk desa untuk membantu kami berbuka puasa dengan membawakan makanan. Tidak disangka, sore harinya lebih dari dua puluh piring berisi berbagai makanan dan kudapan memenuhi dapur kami! Jumlah yang hampir sama datang terus menerus hingga saat kami harus meninggalkan Akelamo untuk kembali ke Yogyakarta.




kebersamaan yang dirindukan
Ah, Indonesia kita. Di satu tempat ada orang yang merasa begitu bangga akan kehidupan sempurna yang ia punya dan menutup mata tentang perbedaan nasib yang dimiliki orang lain. Tidak perlu berpikir esok makan apa dan ia dapat kemanapun dengan bebas. Ia merendahkan ketidakberuntungan yang dialami orang. Duh, apa yang kau banggakan kawan? Karena dapat hidup lebih layak dari orang lain, dimana izin Allah sepenuhnya memegang kendali atas kehidupan hebatmu itu? Sementara di tempat yang lain, ada orang-orang yang hidup dalam kekalutan berkepanjangan dimana hidup damai dan sederhana menjadi satu-satunya impian mereka. Orang-orang tersebut tidak pernah meminta, mereka tidak pula banyak mengeluh dan sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari masyarakat yang dikecewakan oleh kejamnya kekuasaan. Mereka, saudara kita juga. Apa yang sudah kita lakukan buat mereka? Mampukah kita sehebat mereka saat kita ada di posisi yang sama?

Tinggal selama dua bulan di sebuah desa bekas konflik membuat saya mampu banyak merenung. Betapa beruntungnya saya diberikan hidup yang nyaman oleh Tuhan dan bisa memilih depan yang saya inginkan, paling tidak selama ini saya tidak mendapatkan halangan berarti dalam mencapai impian. Tetapi renungan-renungan tersebut seringkali berakhir pada kecemasan diri: apa yang dapat saya lakukan untuk saudara-saudara saya di sana? Sejauh ini saya baru dapat menulis apa yang mereka alami dengan harapan orang lain membaca dan mungkin tergerak untuk berempati. Mungkin.

****

Pada suatu malam yang hangat di Akelamokao. Seperti biasa, bintang bersinar dengan sangat indah dan lengan sabuk Bimasakti nampak cantik berpadu dengan bulan sabit yang mengintip dari balik nyiur. Opan dan seorang temannya yang bersuku Bugis duduk di ruang depan memandangi sebuah peta kontur yang memusingkan bahkan saat dilihat sesaat. Dengan mata berbinar teman Opan bercerita kepada kami yang bersantai sembari menyesap segelas teh panas,

"Kalian tahu, ini adalah peta lokasi dimana emas mungkin tersimpan. Ini bukit belakang desa sana, bukit milik Sultan kita (Sultan Ternate, red).  Di sini ada emas dalam jumlah besar, dan sekarang tidak ada orang Kao yang tahu. Mereka jangan sampai tahu, bisa-bisa ada perang saudara nanti di sini. Torang sedang coba meneliti kandungan emas yang ada di sini."

Kami terkesiap. Saya sendiri tidak berani membayangkan bukit belakang desa akan menjadi sumber konflik baru di Teluk Kao. Akankah sejarah terulang kembali?


P.S. : Seluruh kisah yang saya tuliskan di sini saya dapatkan langsung melalui penuturan penduduk Desa Akelamokao selama saya tinggal. Ada banyak sekali sumber baik buku maupun internet yang menceritakan mengenai konflik di Maluku Utara ini. Mohon dimaklumi apabila ada perbedaan dengan sumber lain yang anda baca, semoga kita mampu bijaksana dalam memetik hikmahnya.