Kelana Nusa Tenggara (2) : Menguji Fisik di Etape Maraton Lombok - Sumbawa

*lanjutan dari Kelana Nusa Tenggara (1) : Membelah Bali



Saya kira Bali dan Lombok itu jaraknya sangat dekat sehingga kami tidak perlu sampai mati gaya di atas kapal. Nyatanya, penyeberangan dari Pelabuhan Padang Bai, Bali ke Pelabuhan Lembar, Lombok membutuhkan waktu kira-kira empat jam menggunakan kapal ferry. Kami cukup beruntung mendapatkan kapal yang kondisinya masih baik meskipun kotor dan agak tua. Ombak siang itu lumayan besar ditingkahi dengan hujan deras dan angin kencang menerpa sepanjang jalan. Baru duduk beberapa menit di ruang VIP dek lantai dua, saya sudah merasa mual karena kapal terombang-ambing di lautan lepas. Ruangannya memang bagus, ber-AC pula, tapi melihat lautan lepas sampai miring-miring di jendela kaca, saya kibarkan bendera putih. Menyerah. Segera saya memilih naik ke dek teratas untuk mendapatkan angin demi menghilangkan mual. Yap, bepergian di akhir tahun memang harus siap dengan risiko hujan dan ombak tinggi musim barat sudah dimulai.


Terbangun, tertidur lagi, mengobrol ngalor-ngidul, hingga keliling naik turun dek adalah kegiatan yang jamak kami lakukan untuk membunuh bosan di atas kapal. Yang saat ini kami lihat hanya lautan biru luas dengan awan keabuan menggantung rendah di haluan depan. Rasa bahagia tidak dapat disembunyikan ketika melihat perbukitan hijau Lombok di kejauhan. Rupanya, letak Pelabuhan Lembar menjorok di dalam teluk yang tenang. Kami harus menunggu beberapa saat sebelum kapal dapat sandar karena keterbatasan dermaga.

Haviz rupanya telah menunggu di pintu kedatangan penumpang. Bayangan akan mandi dengan air bersih, makanan yang lebih layak, dan tidur nyenyak di kasur empuk jelas terlihat ketika kami menyapa Haviz yang baru saja pulang bekerja. Maklum, kami sudah dua hari lebih tidak mandi. Dan benar, Haviz adalah tuan rumah yang sangat welcome. Ia mengajak kami berkeliling Mataram pada malam hari, mengintip gempita Pantai Senggigi, dan mencicip kuliner khas Lombok yang pedas di sebuah warung lesehan sederhana. Ia juga mengantarkan kami membeli tiket bus Lombok-Sape di Terminal Mandalika pada sore harinya.

Saya telah diwanti-wanti untuk senantiasa waspada di Terminal Mandalika. Ternyata benar, calo di Terminal Mandalika cukup ganas dan cerdas dalam mencari pendapatan. Begitu mobil kami memasuki pelataran terminal, beberapa calo sudah berlarian seakan tak mau kehilangan target. Bahkan ada yang rela menempel di kaca demi menghentikan kami! Untunglah Haviz langsung mengingatkan untuk mencari di agen resminya. Sekilas memang terminal pada sore itu telah tutup. Agen-agen bus ada di bagian depan dan hanya terlihat seperti kios kayu tua yang tidak lebih menjamin dari para calo yang berkerumun di depan terminal. Bus yang akan kami gunakan adalah bus Langsung Indah dengan harga tiket Rp 240.000 untuk rute Lombok - Pelabuhan Sape termasuk tiket ferry Lombok-Pototano dan Sape-Labuan Bajo.

Agen bus yang kami gunakan rupanya begitu hangat menyambut kami. Ia mengerti bahwa kami adalah para pejalan muda berduit cekak yang belum punya banyak pengalaman. Ia memberikan kami beberapa pilihan transportasi dan merekomendasikan yang bisa kami gunakan agar tidak terlalu lelah di perjalanan. Sesuai dengan saran pejalan yang lain, kami membeli tiket langsungan ke Sumbawa karena beberapa terminal perhentian di Sumbawa rawan calo dan penipuan.

Keesokan harinya, sejak pukul dua siang kami sudah duduk manis di kios agen menunggu bus Lombok – Sumbawa berangkat pada sore harinya. Sembari menunggu, kami banyak mengobrol dengan suami-istri pemilik kios agen tiket bus tersebut. Rupanya sang istri adalah arek Suroboyo yang telah lama hidup mengikuti suaminya di Lombok. Siapa sangka, pasangan ini memiliki anak-anak yang telah sukses. Ada yang menjadi pengusaha, ada pula yang menjadi tentara dengan pangkat yang lumayan. Mereka begitu bangga menceritakan satu persatu kesuksesan anaknya yang membuat saya langsung teringat ibu di rumah.

“Tidak ada yang percaya mbak kalo anak-anak saya itu punya ibu bapak tukang jualan tiket di terminal,” ujar si Ibu dengan logat Jawa Timurnya yang khas. Persis seperti ibu saya dan mungkin ibu kalian yang senantiasa bangga bercerita kepada orang-orang tentang anak-anaknya yang bisa dibilang memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendulang kesuksesan.

Atmosfer khas Timur kental terasa ketika kami naik ke bus berpendingin super tersebut. Ada beberapa bapak-bapak  berkarakter keras dengan akses Timur yang khas duduk di samping dan depan saya. Beberapa ibu-ibu dengan barang bawaan berlebih masuk setelah kami, disusul oleh dua turis asing yang langsung menjadi incaran para pedagang terminal.

Saya asyik mengamati perilaku para pedagang asongan di Terminal Mandalika. Beberapa dari mereka punya kebiasaan menawarkan dagangannya dengan cara disodorkan hingga ke depan muka kita. Awalnya saya cukup kesal dibuatnya, tetapi lama-lama saya justru tertawa karena kegigihan mereka menawarkan dagangan. Yang dijual pun bermacam-macam, mulai dari berbagai kebutuhan kecil-kecilan hingga buah segar dalam  keranjang. Seorang penumpang di sebelah saya membeli banyak sekali buah. Setiap ada pedagang datang ia beli. Puncaknya, ia membelikan saya dan Debby sebungkus anggur dan membagi rambutannya dengan kami. “Ayoo, makan bersama.. Makan..” suruhnya dengan logat timur yang khas.

Meskipun bus ini ber-AC, rupanya tidak menjamin akan bebas rokok. Belum ada satu jam berjalan, udara dalam bus sudah dipenuhi asap rokok yang menyesakkan. Duh, ini menyiksa karena tidak ada perputaran udara di dalam bus. Beberapa saat kemudian, seorang penumpang yang tadi membeli buah-buahan mulai memakan hasil belanjaannya dan membuang kulitnya di lantai bus. Seketika bau bus menjadi campur aduk ditambah aroma minyak kayu putih dari kursi belakang.

Sore menjelang ketika kami tiba di Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur. Sebuah kapal ferry sudah siap mengangkut penumpang yang akan menyeberang ke Pelabuhan Pototano, Sumbawa. Nampak jelas siluet Gunung Rinjani di kejauhan, tinggi tertutup awan, ditemani gemerlap air di lautan yang memantulkan cahaya senja. Tenang menghanyutkan.

antrian bus yang menunggu diseberangkan
suasana di Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur

Kapal ferry menyeberang selama dua jam menuju Pototano membawa rombongan beberapa bus. Dua turis asing yang belakangan kami ketahui berasal dari negeri Belanda itu duduk tak jauh dari kami. Sepanjang perjalanan, kami kasihan sendiri melihat mereka. Berkali-kali didatangi orang, diajak mengobrol, diajak bercanda, hingga dirasani, dimintai uang, dan mereka tetap bergeming di tempatnya, berusaha ramah pada setiap yang datang. Tak berapa lama, hujan berpetir menemani penyeberangan kami menuju Sumbawa. Terpal penutup kapal diturunkan dan kami merapat ke bagian tengah kapal. Meskipun hujan berangin, suasana tetap panas karena banyaknya yang merokok. Niscaya, baju dan jilbab saya bau rokok.

Bayangan saya akan mendapatkan pemandangan ciamik kampung Bajo di Pelabuhan Pototano pupus sudah. Kami tiba pada pukul tujuh malam dan hujan berpetir mengaburkan pandangan sepanjang jalan. Tidak ada siluet matahari terbenam, rumah-rumah warga Bajo di tepian dermaga, bukit tandus dengan kuda berlari-lari riang, atau sabana berilalang cantik di kiri-kanan jalan. Semuanya gelap. Kami hanya dapat melihat jalan kecil berkelok-kelok di depan dan supir bus yang menyupir agak nekat membuat kami kelojotan di atas kursi bus.

Subuh belumlah hadir ketika kami tiba di Terminal Bima. Suasananya mirip dengan yang digambarkan dalam film-film seperti Atambua 39’C. Sepi dan agak mencekam. Kami turun dari bus dan berganti dengan bus yang lebih kecil. Barang-barang dipindahkan oleh beberapa pemuda yang belakangan memaksa meminta bayaran atas jasanya – yang seharusnya dapat kami lakukan sendiri. Untungnya kami punya Edo, yang cukup fasih berlogat timur dan tidak takut menghadapi para pemuda kurang gawean tersebut sehingga tidak perlu membayar mahal untuk jasa mereka.

Tiga jam selanjutnya kami duduk di kursi keras sebuah bus kota kecil dengan supir ugal-ugalan. Saya bosan tidur dan memilih melihat pemandangan sepanjang jalan. Tanah di Bima cukup tandus, perbukitan berwarna kecoklatan mendominasi penglihatan. Lagi-lagi tidak ada kuda Sumbawa berlari-lari di sabana. Oke saya terlalu banyak berimajinasi. Jalanan yang berkelok tajam khas perbukitan membuat kami selalu was-was akan akhir perjalanan ini. Apakah berakhir di Pelabuhan Sape, atau justru di rumah sakit? []



***
berikut rincian pengeluaran untuk transportasi Lombok - Sumbawa:
kapal ferry Pelabuhan Padang Bai (Bali) - Lembar (Lombok) : Rp 36.000
bus langsungan Lombok - Sape : Rp 240.000 (termasuk tiket ferry Lombok - Sumbawa dan Sape - Lb Bajo)
taksi Ampenan - Terminal Mandalika : +/- Rp 60.000 untuk berempat