Bersekolah di Tepi Teluk Kao

 

"Kinkin!" suara serak seorang perempuan terdengar memanggil ketika saya berjalan meninggalkan kantor desa selepas acara penyambutan. Sore itu saya dan teman-teman lain baru saja menjejakkan kaki di Desa Tafure Ternate Utara untuk mengikuti program homestay bersama penduduk selama dua hari, September lalu.
Segera saya menoleh mencari sumber suara. Sebuah sosok yang begitu melekat di ingatan saya, tengah berjalan cepat keluar dari halaman sebuah rumah. Ah, anak itu!
"Alipiii!!"
Pelukan erat dihadiahkan perempuan itu pada saya. Namanya Alif, tetapi sering kami panggil Alipi, adalah gadis desa yang saya kenal saat kami melaksanakan KKN di Desa Akelamokao Halmahera Barat lebih dari satu tahun yang lalu. Kala itu, Alipi adalah salah satu anak yang kami anggap adik sendiri dan keluarganya berbaik hati membersihkan rumah pondokan ketika kami datang serta meminjamkan peralatan tidur. Alipi juga sering datang membawakan makanan atau sekedar mengundang kami minum teh di rumahnya. Saat itu, Alipi baru saja resmi menjadi siswi baru SMK Pertanian Akelamokao.
Tetapi, ada yang berbeda dari Alipi sore itu. Perutnya membuncit, ia nampak sangat lebih dewasa dari sebelumnya. Rupanya Alipi tengah hamil tua. Dahi saya mengerenyit tidak paham mengisyaratkan bahwa saya butuh penjelasan.
"Iya, saya nikah sama orang Tafure, Kin. Sekarang tinggal di belakang rumah ini." ujar Alipi seakan paham akan kebingungan yang saya alami.
"Kamu udah nikah? Ya ampun, baru satu tahun kita nggak ketemu padahal..."
Sayangnya pembicaraan itu tidak berlangsung lama. Pak Jamaluddin, bapak angkat saya sudah menunggu di ujung jalan untuk membawa kami pulang ke rumah. Lambaian tangan Alipi di kejauhan terasa tidak cukup mengobati rasa rindu saya padanya.

Melihat kondisi Alipi saat itu, entah mengapa saya tidak bahagia. Alipi menikah dan tengah hamil, berarti dia tidak sekolah lagi. Meninggalkan sekolahnya, dan tentu saja kehidupannya di sebuah desa di tepi Teluk Kao yang damai. Satu lagi pemudi harapan Akelamokao putus sekolah dan memilih menjadi istri orang di usianya yang masih sangat muda. 


***
Sebagai ibukota kecamatan Jailolo Timur, Desa Akelamokao memiliki SD, SMP, SMA, dan Madrasah Ibtidaiyah. Gedung sekolah di Desa Akelamokao terletak di bagian depan desa, tepat di tepi jalan Trans Halmahera. Mendengar kata jalan trans, jangan berpikir jalan tol besar seperti yang ada di Jawa. Beraspal mulus saja sudah alhamdulillah. Jalanan ini hanya cukup untuk dua mobil berpapasan, itupun harus berhati-hati, dan berkelok-kelok mengikuti kontur bukit. Dalam lima menit belum tentu ada satu kendaraan lewat. Terbayang kan sepinya Halmahera, apalagi di waktu malam?

Jangan membayangkan gedung sekolah bertingkat dengan fasilitas lengkap, di sini hanya ada gedung satu lantai dengan dua ruang kelas, satu ruang guru, dan satu ruang serbaguna. Gurunya pun seingat saya hanya empat orang termasuk kepala sekolahnya. Merekapun tidak selalu datang seluruhnya, pasti ada yang terlambat atau tidak datang sama sekali.

"Bagaimana mereka tidak malas datang, rumah mereka jauh sekali di Sofifi tapi ditugaskan di sini. Dengan gaji yang tidak besar sementara transportasi di Maluku itu mahal!" ujar Bapak Kepala Sekolah SMK Pertanian pada suatu pagi. Saat itu kami sedang bersiap untuk mengajar anak-anak SMP. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar memang bergiliran: pagi hari ruang kelas digunakan untuk SMP Satu Atap, dan siangnya giliran SMK Pertanian. Itupun kalau ada gurunya.

Metode pengajaran di SMP maupun SMK ini boleh dibilang jauh dari yang kita harapkan. Tidak ada buku-buku pegangan dengan kurikulum terbaru, semua anak hanya dapat mencatat apa yang dikatakan gurunya di depan kelas - yang juga terkadang hanya membacakan isi buku pegangan. Jarang guru memberikan penjelasan sehingga anak-anak dapat paham. Maka, tidaklah aneh ketika kami menemukan kenyataan bahwa anak SMP kelas satu belumlah dapat membaca dengan lancar atau berhitung tambah kurang.

Anak-anak terbiasa disetrap jika mereka tidak disiplin. Tapi sering pula mereka dibiarkan berdiri sampai matahari meninggi selepas apel pagi di lapangan tengah yang kecil tanpa alasan yang jelas. Setidaknya saat kami berada di sana, hampir setiap pagi mereka dijemur oleh guru-gurunya. Diberikan wejangan panjang lebar yang saya pun tidak mendengarkannya dengan seksama. Kelas juga terkadang dibiarkan kosong sehingga anak-anak akan berkeliaran sesiangan di sekitar sekolah, bahkan ada yang pulang atau memilih bermain bersama teman-temannya. Saat itu pun Alipi cukup sering membolos sekolah dengan alasan klasik: malas.

Atas dasar itulah salah satu teman subunit saya, Siti, berinisiatif membuat kelompok belajar malam. Rumah pondokan kami memang senantiasa ramai didatangi anak-anak dan para pemuda di mana mereka terbiasa duduk di depan teras atau mengintip dari balik jendela yang bolong. Karena itulah, tidak terlalu sulit untuk mengumpulkan mereka dan mengajak mereka belajar bersama, mengerjakan PR dari guru, atau sekedar bernyanyi bersama untuk menghilangkan penat.


Entah ada perasaan bahagia yang membuncah melihat mereka begitu bersemangat belajar dengan teman-temannya. Menggambar, berhitung, belajar bahasa Inggris, atau sekedar menonton film bersama. Siti adalah yang paling bersemangat untuk mengajari mereka, saya kalah jauh dibandingkan dia. Lantai ruang tamu pondokan kami akan selalu kotor oleh jejak-jejak kaki mereka yang tak bersepatu sehingga terkadang kami harus kerja ekstra mengepel lantai selepas acara belajar bersama.

Ada yang begitu bersemangat belajar tentang pulau-pulau di Indonesia. Ada yang begitu penasaran dengan perkalian angka-angka. Ada yang begitu ingin fasih mengeja nama buah-buahan dalam bahasa Inggris. Ada pula yang begitu senang diajak menggambar dengan pensil warna bekas yang kami bawa dari Jawa.

Jika diberikan kesempatan dan fasilitas yang sama untuk menikmati pendidikan, saya yakin mereka akan sepandai teman-temannya di wilayah yang lebih maju. Menurut saya, ketertinggalan mereka dalam pendidikan salah satunya adalah akibat kekurangan tenaga pendidik yang berkualitas dan punya kesadaran penuh untuk mencerdaskan anak bangsa. Mereka juga punya keinginan untuk maju tetapi nasibnya tidak seberuntung kita: tidak mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak. Saya sendiri masih sangat ingat, ketika itu pelajaran Kewirausahaan saya membuat sebuah sesi menulis dan mendeklarasikan mimpi-mimpi mereka di depan kelas. Begitu sederhana, tapi jujur tak mengada-ada.

"Saya ingin berjualan bakso, Kak." seorang murid SMK, bercerita dengan polos mengenai keinginannya membuka usaha.
"Saya pingin jadi guru." kata murid yang lain.

"Apapun mimpi kalian, perjuangkanlah. Jangan malas belajar! Tuhan akan membantu umat-Nya yang berusaha, ya kan?" ujar saya sebagai penutup kelas siang itu.

***
"Apa nama ibukota Maluku Utara?" tanya Fahmi, teman satu subunit saya. Ketika itu kami tengah mengadakan acara cerdas cermat menyambut 17 Agustus.
"Namto Roba?" jawab seorang anak dengan polosnya. Kami semua tertawa, karena rupanya ia tidak mendengar pertanyaan dengan baik. Ia justru menjawabnya dengan nama Bupati Halmahera Barat.
"Iiii salah, tarada yang tahukah? Ibukota Maluku Utara itu Ternate..." jawab Fahmi diikuti desahan si anak yang salah menjawab pertanyaan.

Di tengah hiruk pikuk cerdas cermat tersebut, harapan kami akan anak-anak ini sebagai penerus bangsa kembali membuncah. Mereka haus akan pengetahuan dan butuh orang-orang yang mau mendampingi mereka agar berjalan lurus menuju kesuksesan. Saya saat ini hanya mampu membayangkan, anak-anak ini dapat menuntut ilmu hingga bangku universitas dan suatu saat nanti kembali ke desa ini, membangun dan memajukan tempat di mana mereka lahir dan tumbuh besar. Di Akelamokao.

Sepulang dari Akelamokao saya begitu menyesal tidak mempersiapkan diri agar dapat mengajar mereka dengan maksimal. Niat awal kedatangan saya saat itu hanya iseng dan ingin jalan-jalan. Tetapi saat pulang saya gelo bukan main. Membuat mereka paham memang tidak mudah, tetapi ketika mereka mengerti apa yang kita maksudkan dan nampak bersemangat untuk tahu lebih banyak adalah hadiah tak terkira yang dirasakan seorang pengajar. Setidaknya bagi saya sendiri.

Karena itulah, sejak saat itu ketika ditanya oleh orang-orang ingin menjadi apakah saya di masa depan, akan saya jawab dengan lantang. Saya ingin menjadi guru dan saya ingin mengajar. In the middle of nowhere, maybe.




P.S: Terkadang, hidup terasa begitu sederhana di luar sana. Saya tidak pernah respek terhadap orang-orang yang membanggakan betapa dirinya punya kehidupan yang sempurna dan bahagia, karena ada satu faktor yang begitu menentukan: Tuhan mengizinkan mereka untuk menjadi seperti itu. Jangan pernah membandingkan kehidupan kita dengan kehidupan orang lain, itu jauh berbeda. Dan satu lagi, jangan pernah mencemooh atau sibuk mengomentari mimpi-mimpi orang lain. Kamu punya hidup untuk kau urusi sendiri kan? :)