Mau Dibawa Kemana?

"Your children are not your children. They are the sons and daughters of Life's longing for itself. They come through you but not from you, and though they are with you, yet they belong not to you. You may give them your love but not your thoughts. For they have their own thoughts. You may house their bodies but not their souls, For their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot visit, not even in your dreams."

Kahlil Gibran - The Prophet: Children

Sudah jamak dalam keseharian saya membaca kicauan teman-teman sepantaran yang sudah bekerja di ibukota: mengeluh tentang pekerjaan dan hari-hari berat yang mereka lalui. TGIF menjadi salah satu jargon andalan yang diyakini dapat menghapuskan kelelahan setelah lima hari penuh bekerja siang malam. Banyak di antara mereka adalah teman-teman satu bidang studi dengan saya, akuntansi. Dan banyak pula yang punya cerita pahit bahwa mereka masuk ke jurusan akuntansi sama seperti saya, bukan atas keinginan kami sendiri.

Mereka mengeluh pasti salah satunya karena mereka tidak menikmati yang dikerjakan sehari-hari. Iya kan? Jika memang apa yang mereka lakukan adalah hal yang benar-benar dicintai, maka mengeluh adalah pilihan terakhir, seberat apapun itu. 

"Enggak ada pilihan, Kin. Aku udah terlanjur masuk di dunia ini." ujar seorang teman ketika ditanya mengapa ia seakan sangat diberatkan oleh pekerjaannya. Padahal, dia adalah seorang seniman handal. Saya begitu mengagumi hasil gambar-gambar dan lukisannya, bagaimana ia dapat membuat semua itu begitu bernyawa. Menggambar tidak akan membuatmu kenyang, begitu sang ibu berkata, saat ia meminta izin untuk mengikuti mimpi yang dia punya.

Mereka menjadi seperti itu, mungkin karena mereka tidak ada pilihan. Paling tidak, itu salah satu penyebabnya.

Kita hidup di masyarakat dimana menjadi bagian dari mayoritas dapat diartikan sebagai suatu keamanan yang akan menjamin hidup. Kita begitu terbiasa akan keseragaman dan menjadi berbeda adalah muspro. Kita menjadikan 'apa kata orang' sebagai sebuah pedoman mengenai apa dan bagaimana kita harus berperilaku. 

Tapi kemudian kita lupa untuk mendengarkan kata dari dalam nurani kita sendiri.
Apa yang sebenarnya kamu inginkan?

Sedari kecil, sebagian besar dari kita tidak pernah dihadapkan pada pilihan. Seakan apa yang kita lakukan sudah direncanakan sejak A-Z oleh orangtua yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Apa yang kamu lakukan adalah apa yang diminta oleh orangtuamu, apa yang kamu capai adalah kepuasan bagi orangtuamu.

Di satu sisi, kita merasa telah menjadi makhluk paling patuh dan berbakti pada mereka yang paling berjasa pada hidup kita. Tentu, itu sebuah keharusan. Tetapi di sisi lain, ada satu kehampaan karena kalian seakan menjadi robot-robot kecil yang telah terprogram tentang bagaimana kalian hidup, berperilaku, kemudian nantinya (pasti) mati.

Mungkin di sini, hidup terbaik adalah hidup seperti orang kebanyakan. Paling tidak kamu akan aman. Lahir, tumbuh besar, bersekolah, bekerja, menikah, punya anak, menua, lalu mati. Dapat dihitung, berapa dari kita yang diberikan kebebasan penuh oleh orangtua untuk memilih dan menjalankan apa yang kita mau, saat ini dan di masa depan.

Yang Kahlil Gibran katakan mungkin tidak disetujui oleh sebagian dari kita. Biar bagaimanapun, anak-anak adalah harapan orangtua, dan membahagiakan orangtua adalah keinginan para anak. Tetapi, tidakkah lebih menyenangkan jika anak-anak diberikan kebebasan dalam memilih cara bagaimana mereka membuat orangtuanya bahagia? Kenapa bahkan untuk cara-nya pun anak-anak harus dipilihkan seakan-akan mereka tidak punya power untuk memutuskannya sendiri?

Dari hal-hal sederhana, kita akan paham betapa kita tidak punya kebebasan untuk memilih. Saat kecil, orangtua pasti berharap anaknya punya prestasi cemerlang di sekolah dan bertabiat baik kepada orang-orang di sekitarnya. Jika dia tidak menyukai ilmu eksak dan memilih mendalami seni abstrak, dia akan dibilang bodoh. Diikutkan les macam-macam agar dapat mengejar ketertinggalan dan mengabaikan bakat yang dia punya. Hasilnya, si anak akan tertekan. Tidak mendapatkan hasil maksimal. Lagi-lagi kita yang kecewa dan tidak mau menerima apa adanya anak kita.

Saat kita besar dan (dianggap) sudah dapat memutuskan, kita dihadapkan pada lingkungan yang seakan-akan terus menuntut. "Kapan bekerja? Kapan menikah?" adalah pertanyaan jamak yang justru meneror kita, alih-alih memberi kebebasan pada kita untuk memilih. Seakan-akan kita pasti akan bekerja di kantor, pasti akan menikah, pasti akan punya anak....

Saya sendiri juga punya cerita tentang bagaimana saya tidak dapat memilih apa yang saya inginkan. Sejak kecil hingga awal kuliah, saya selalu mengikuti arus utama yang dipilihkan oleh orangtua, tidak sekalipun saya punya kebebasan untuk memilih apa yang saya suka. Saat kecil saya suka sekali melukis, tetapi bakat tersebut terlupakan seiring kesibukan saya bersekolah dan berusaha meraih prestasi. Saya mungkin bisa mendapatkan nilai bagus, masuk jurusan unggulan, dan lulus dengan memuaskan, tapi seakan-akan nilai-nilai tersebut hampa karena saya tidak benar-benar menginginkannya. Saya hanya ingin orangtua saya bahagia.

Hal yang sama terjadi ketika saya ingin masuk arsitektur atau arkeologi. Mendengar nama jurusannya saja orangtua saya tidak ingin membicarakannya lebih jauh. Kamu mau jadi apa? Itu kata mereka. Saya terdiam dan hanya bisa mengikuti keinginan mereka dengan menuliskan pilihan pertama jurusan Akuntansi pada lembar jawab utul saya.. Ini bukan  yang saya inginkan dan hasilnya, saya tidak fokus saat menempuh studi. Kuliah hanya seadanya, mendapatkan nilai-nilai bagus itupun sekedar agar orangtua saya lega, sisanya saya sibuk membuat hati terpuaskan oleh berbagai kegiatan yang menjadi hobi. Baru pada tahun ketiga, orangtua benar-benar memberi kebebasan. Mereka akhirnya paham bahwa suatu pemaksaan keinginan pada anak-anak hanya berakhir pada kebahagiaan semu. Akhirnya kini saya diberi kebebasan memilih pekerjaan seperti yang saya suka asalkan, saya paham konsekuensinya dan benar-benar bekerja keras untuk mendapatkan dan mempertahankannya. Justru pada titik tersebut, saya merasa benar-benar bertanggung jawab atas apa yang saya pilih, dan saya tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan orangtua dengan asal-asalan menjalani hidup.

Kita yang terbiasa mengikuti kemauan orangtua, pada saatnya akan membawa sifat tersebut dan melakukan hal yang sama kepada anak-anak kita. Jangan lupa, kita adalah calon-calon orangtua (yang belum dipertemukan dengan jodohnya, #uhuk). Kita akan membuatkan suatu peta hidup dan tiap-tiap pencapaian yang dilakukan oleh para anak adalah kepuasan bagi kita. Dan anak saya besok, tidak boleh merasakan kebosanan seperti apa yang dirasakan oleh orangtuanya semasa muda! #sikap

***
ini adalah racauan saya yang sedang bingung melanjutkan peta hidup. mungkin posting ini bisa dibaca sambil menyetel lagu Armada, mau dibawa kemana...