Pada Sebuah Meja Makan



Selama menjadi bagian dari keluarga Pak Misrudi dan Mak Masnah, saya selalu dipersilakan untuk ikut makan di dapur mereka. Dapur itu sederhana, terbuat dari jalinan bambu dengan atap daun aren yang terpisah dari bangunan utama.

"Bu, noro' ngakan sabedena pei ghi... Nyamana oreng tak andik, nya andik cukok kereng ya Ibu noro' ngakan pei ya Bu.. Eshon tak bisa masak se nyaman-nyaman carana oreng e nagarana Ibu."
(Bu, ikut makan seadanya saja ya... Namanya orang ngga punya, cuma punya ikan kering ya Ibu ikut makan aja ya Bu.. Saya ngga bisa masak yang enak-enak macam orang di kota Ibu.)

Di awal, pertengahan, hingga akhir masa tugas saya, selalu kata-kata tersebut yang diulang-ulang oleh Emak Masnah. Ibu angkat saya tersebut katanya sering kasihan karena saya hanya makan nasi dengan ikan kering, jika sedang tak musim ikan, dan jarang pakai sayur karena susah dicari. Jika sedang rejeki, akan terhidang sayur daun singkong, daun kelor, sayur ubi, dan sayur sawi hasil petik kebun sendiri. Mungkin Emak lupa, berat saya sempat naik sampai tujuh kilo saking nikmatnya makan masakan yang katanya 'seadanya' tersebut.


Jam-jam makan adalah salah satu momen yang paling saya nantikan di rumah Serambah. Emak sangat memperhatikan seluruh anggota keluarganya, termasuk saya. Jam makan saya teratur betul: pukul 6.30 sebelum berangkat mengajar, pukul 1.00 sepulang mengajar, dan pukul 19.30 selepas isya. Masakan ala Emak atau Norma, adik angkat saya, akan terhidang cantik di sebuah meja makan kayu di tepi dapur. Di meja makan itulah saya, Buppak, dan Kak Irul akan makan bersama. Emak dan Norma jarang makan di situ, mereka lebih suka ndeprok di depan tungku.

Saat makan, suasana sangat hidup. Layaknya sebuah keluarga ideal, cerita tentang keseharian kami semuanya tertumpahkan sembari menyuapkan butir-butir nasi ke dalam mulut. Emak biasanya punya cerita terbaru tentang tetangga atau orang dari dusun sebelah. Buppak akan meributkan hasil panen sagunya yang tak sebanyak biasanya, dan Kak Irul lebih banyak mendengarkan. Tawa di sela-sela suapan itu biasanya akan diselingi keluhan Emak atau Buppak, "Arapa Ibu mak ngakan satembi dheluk! Tambah Bu, eshon tak ghelem muang-muang nase!" (Kenapa Ibu makannya sedikit sekali! Tambah Bu, saya ngga mau buang-buang nasi!)

Dapur Emak yang ngangenin
Ketika santapan di piring kami sudah habis, saya akan menyeduhkan teh untuk saya sendiri dan kopi kental untuk Buppak. Sementara itu, Buppak mulai menyalakan rokoknya dan menghisapnya dengan satu tarikan napas yang dalam. Kemudian, ia pasti terbatuk-batuk. Setelah itu tinggal menunggu saya, Emak, atau Norma memarahi Buppak yang tak pernah kapok merokok tingwe (linting dewe) padahal paru-parunya sudah tak begitu kuat menerima asap rokok. Dan seperti biasa, ia akan jawab keluhan-keluhan kami dengan kata-kata yang lucu, membuat suasana semakin cair. Begitu terjadi setiap malam, tapi saya tak akan pernah bosan.

Pernah suatu ketika saya tak nafsu makan karena hanya makan sendirian. Emak, Buppak, dan Norma masih ada kesibukan di masjid sementara saya mengerjakan tugas di dalam kamar. Akhirnya ketika mereka datang saat malam telah larut, saya bergegas ke dapur dan ikut makan. Emak memarahi saya yang makan terlambat, dan saya jawab sekenanya, "Tak enak Mak makan sendirian, tak ada yang diajak bicara. Saya nunggu Buppak biar bisa makan bareng."

Tahu yang terjadi setelahnya? Buppak selalu menunggu saya di meja makan saat makan malam, dan jika saya tak ada di tempat ia akan menyongsong ke rumah dan meneriaki saya dengan kata-kata yang sama.

"Ibu! Makan dulu! Sudah dimasakkan harus dimakan!" Buppak berkata seakan-akan saya ngga mau makan, padahal saya sebenarnya cuma menunggu beliau datang dari masjid. Duh, jadi kangen Buppak.

Meja makan kayu sederhana ini mendekatkan kami. Saya sangat mengingat potongan nostalgia ini karena di rumah saya di Jogja, meja makan telah lama nir kehadirannya. Kesibukan masing-masing anggota keluarga, ditambah adanya kedai makan di rumah, membuat kami hampir tak pernah duduk bersama untuk makan dan sekedar bercerita. Awalnya memang sebuah meja makan oval yang besar mengambil bagian di tengah ruang keluarga. Tapi tak pernah digunakan. Hanya satu dua sisi yang bersih - akibat sering digunakan, sisanya tertumpuk debu rumah. Bahkan mungkin tahun-tahun yang lalu saya lebih sering makan di luar. Karena itulah, saya sadari betapa berharganya pengalaman makan bersama, pada sebuah meja, dan saya rasakan betul hangatnya sebuah keluarga.

Rupanya pada meja makan itulah sebuah keluarga menjadi intim; antara suami dengan istrinya, dan ayah ibu dengan anak-anaknya.