Cinta yang Tumbuh di Tempat-Tempat Biasa

Tapi kalo ini bukan tempat biasa sih...
Cinta ini tumbuh di antara peron-peron stasiun kereta api. Cinta ini tumbuh di dek kapal berlunas rendah yang menari di tengah samudera. Cinta ini tumbuh di tapak-tapak berpasir jalan menuju atap langit Jawa. Cinta ini tumbuh di tiap sudut kota Jogja: angkringan nasi kucing, warung bakmi jawa, tebing landas pacu Laut Selatan, dan teras depan Societet Taman Budaya.

Cinta ini tidak tumbuh di tempat-tempat (yang menurut orang lain) istimewa.

Pertama menjabat tangannya, aura yang menyenangkan tersibak begitu saja. Baru saja aku bertemu ia hari itu, rasanya sudah seperti kenal sejak lama. Bersemangat dan murah senyum, kusematkan tanda di memori bahwa ia perlu kukenal lebih jauh.


Sebuah buku digital adalah prasasti yang nanti akan mengingatkan bilamana aku lupa cara kami menjadi dekat. Dek kapal, matahari terbenam, lautan lepas, koridor sempit menuju haluan, adalah tempat pertemuan-pertemuan sepintas bulan sebelumnya. Kuakui, ia tidak meninggalkan kesan biasa. Banyak hal yang membuat kami bisa bersama-sama tertegun dan berucap, "Kok sama sih?" lalu menertawakannya.

Hingga kemudian, memikirkannya mulai memakan ruang di otakku. Melihat senyumnya menjadi candu. Pernah kukatakan, mungkin akan kutemui jodohku di stasiun kereta api atau di gunung. Aku tidak menemukannya di sana, tapi dengannyalah kemudian kujelajahi tempat itu. Apa yang lebih menyenangkan dari bertemu teman dengan kesukaan-kesukaan yang sama?

Untunglah cinta itu tumbuh di tempat-tempat biasa dengan cara yang sederhana. Ucapan bertitel 'aku' dan 'dia', dengan segera pun berganti menjadi 'kami'.

Kami tertawakan orang-orang yang terlalu serius menyikapi hidupnya, dalam sekejap kami kasihani diri sendiri yang mungkin akan segera mengalami hal yang sama. Kami coba berjanji untuk menjadi sisi yang saling melengkapi, walau kemudian seluruh angan harus disisipi kata 'mungkin'.

Dia yang penuh keangkuhan bersumpah tak akan membawakan tas sang wanita jika jalan bersama, akhirnya luluh juga melihatku yang nampak kepayahan menahan beban. Dia yang selalu jumawa bercerita betapa ia mampu mendaki gunung-gunung yang tinggi, akhirnya menyerah kelelahan setiap menemaniku berkeliling gang-gang pasar. Dia yang tak pernah bisa diam tiap bercakap dengan banyak orang, mampu memilih tenang saat menghadapi emosiku yang sesekali memuncak.

Pandangan mata yang ia teduhkan, nada suara yang ia rendahkan, dan perilakunya yang menenangkan, membuatku yakin bahwa ia tidak pernah sembarangan dalam perihal sayang.

Semoga ini bukan sementara. Karena cinta yang tumbuh perlahan di tempat-tempat biasa, (semoga saja) akan lebih lama dapat bertahan. Dia tentu saja bukan yang pertama, tapi akan terus kupertahankan agar dialah yang menjadi paripurna.