Rapor Tingkah Laku

Kisra, anak kelas lima yang bertubuh bongsor tersebut sibuk mengiris-iris pepaya muda yang dipetiknya sendiri dari halaman rumah. Beberapa menit sebelumnya, ia tergopoh-gopoh menyiapkan tikar dan air minum di ruang tengah. Semua itu ia siapkan untuk saya yang datang berkunjung sepulang sekolah. Mulutnya tak henti menggumam, "Kema Emak, Bu Kinkin la datang..." (Emak kemana, Bu Kinkin sudah datang...)

"Sudah, Ibu di sini saja," cegah Kisra ketika saya berniat membantunya membuatkan bumbu rujak. Segera ia membenamkan diri dalam kesibukan mengulek cabai dan garam, yang oleh masyarakat Bawean biasa disebut bumbu buja cappi. Saya senyum-senyum sendiri memperhatikan tingkahnya yang lucu. Ia benar-benar bersemangat menjadi tuan rumah yang menyenangkan. Dan pada siang itulah saya baru tahu bahwa Kisra adalah storyteller yang sangat baik. Ia menceritakan tentang keluarga, teman-teman, kesulitan yang ia hadapi saat di sekolah, serta cita-citanya menjadi seorang penulis buku.


Kisra yang saya kenal di sekolah sangat berbeda dengan Kisra yang sedang ada di depan saya ini. Saat kegiatan belajar mengajar, sangat jarang ia mau berbicara atau menjawab pertanyaan dengan suara yang lantang. Ia selalu menjadi yang terakhir selesai mengerjakan tugas karena ingatannya akan materi tidak sekuat anak-anak yang lain. Ketika menemukan soal yang sulit, ia akan berteriak gempar, "Laaaa Ibu, sungkan!" (Udah Ibuuu, malas!) lalu melempar pensilnya ke atas meja. Kisra juga termasuk paling pemalu dan pendiam saat di sekolah.

Pada suatu ketika, saya mengadakan penjelajahan ke dusun yang terletak sejauh tiga punggungan gunung dari dusun saya berada. Saya mengingatkan anak-anak untuk membawa bekal dan minum sementara saya sendiri hanya membekali diri dengan air mineral dan beberapa makanan ringan. Tanpa saya duga, Kisra membawakan saya satu bungkus nasi dan mie goreng, disertai permintaan maaf dalam jurnal yang ia tulis keesokan harinya, "Bu, maafkan Kisra tidak bawakan ibu nasi dan ikan. Di rumah tidak ada ikan, Ibu tidak ke pasar dan dan tidak ada uang untuk beli ikan." Saya seketika terharu.

Kisra adalah penyayang tumbuhan dan binatang. Saat pelajaran PLH saya menugaskan anak didik untuk menanam biji-bijian. Kisra tahu betul cara merawat tumbuhan tersebut, alhasil biji kacang hijaunya lah yang pertama tumbuh besar. Tumbuhan teman-temannya hampir semua mati, karena tidak pernah disiram atau diletakkan sembarangan sehingga dimakan ayam. Kisra juga memelihara seekor kucing kecil dan ia menyayanginya sepenuh hati. Dua bulan lalu saat seekor kucing mati dilempar anak kelas dua, Kisra menangis habis-habisan dan berlari pulang ke rumah saking sedihnya.

Lain lagi Hafiz. Ketua kelas lima yang kelasnya saya ampu ini begitu santun dan gemar menolong. Ia tidak pernah sekalipun berbicara pada saya dengan suara yang keras dan membentak - seperti kebiasaan orang Serambah yang berbicara sambil berteriak-teriak - dan ia selalu meminta maaf apabila ada kata-kata dalam kalimatnya yang tidak dapat ia sampaikan dalam Bahasa Indonesia.

Kelas lima berisi anak-anak tanggung yang sedang memasuki masa puber. Disayang seperti kelas rendah akan melunjak, dididik mandiri dan diberikan tanggung jawab seperti kelas enam akan merengek. Hafiz hampir selalu berhasil memimpin teman-temannya. Saat berada di kelas, Hafiz memang tidak secepat anak lain dalam mengikuti pelajaran. Ia akan mengeluh mabuk (pusing) setiap mendapatkan soal matematika dan dengan sopan mengatakan pada saya, "Bu, saya tidak bisa soal ini. Bagaimana caranya Bu?" lalu ia akan berusaha mengerjakannya satu persatu meski keesokan harinya ia sudah lupa lagi langkah-langkahnya.

Kisra yang penyayang dan Hafiz yang santun membuat saya merenung panjang tentang sebuah ruangan pengurung dengan sekat-sekat yang tinggi bernama kelas. Andai saja penilaian tingkah laku mendapatkan proporsi banyak dalam ujian kenaikan kelas, mungkin anak-anak saya akan naik kelas dengan mudah.

Kelas mungkin hanya menjadi sebuah simbol. Jika mengikuti kurikulum, apa yang diajarkan di dalamnya pun berkisar di antara pendidikan akademik dan penilaian kognitif. Setidaknya hal inilah yang terjadi di daerah tempat saya bertugas. Pendidikan karakter yang digadang-gadang menjadi kelebihan kurikulum baru, dalam pelaksanaannya, baru sebatas omongan di mulut. Karakter anak tidak mungkin berubah menjadi lebih baik hanya dengan mengerjakan soal mengenai efek negatif bertengkar di sekolah. Mereka juga tidak akan menjadi lebih baik hanya dengan membaca cerita tentang anak yang berkelakuan baik di buku LKS. Penilaian karakter anak pun hanya sekedar huruf di raport, tidak dijadikan pertimbangan utama untuk menaikkan mereka ke jenjang selanjutnya.

Penilaian prestasi akademik Kisra dan Hafiz mungkin tak akan sebaik teman-temannya. Mereka sudah berjuang melampaui batas mampunya. Tapi bukankah kecerdasan setiap orang berbeda-beda? Mungkin bukan di situlah Hafiz dan Kisra dapat berkiprah cemerlang. Nilai-nilai itu hanya akan menjadi coretan hitam di atas putih. Saya membayangkan Kisra dan Hafiz saat dewasa hanya tertawa-tawa mengenang bagaimana mereka dulu bersusah payah mendapatkan nilai saat sekolah. Mereka mungkin akan kesulitan merangkak naik karena terus tersandung penilaian akademik. Tetapi sikap dan tingkah laku mereka yang (mungkin) lebih baik daripada orang-orang terdidik di negeri ini, akan terus membekas di hati orang-orang yang pernah berada di dekatnya.

Saya lebih bahagia ketika anak-anak saya mulai terbiasa membuang sampah di tempatnya dan mau mengantri, dibandingkan ketika mereka memahami sebuah materi yang diajarkan di kelas.Saya lebih bahagia ketika anak-anak saya bersikukuh mengerjakan soal ulangan dengan kemampuannya sendiri, dibandingkan ketika mereka menang lomba di kecamatan.