Ode Tengah Juni

Akhir Juli, 2011

Saya masih berdiri mematung di depan kelas. Anak-anak itu duduk diam menatap saya sembari sesekali mengedipkan matanya. Saya diam, mereka diam. Jika saja ada jangkrik, mungkin suara deriknya yang akan mengisi ruangan ini.

Tuhan, apa yang harus saya lakukan? Buku acuan yang saya pegang tidak memberikan inspirasi apapun agar saya mampu berbicara panjang lebar. Omongan saya patah-patah menjelaskan apa itu kewirausahaan di depan anak-anak SMP Satu Atap yang sedari tadi menunjukkan ekspresi tidak paham. Kakak ini sedang apa sih, mungkin itu yang ada dalam pikiran mereka.

Keringat dingin mengucur deras. Tatapan polos mereka dan keheningan kelas justru makin menekan saya. Akhirnya kelas saya serahkan kepada Siti, rekan satu tim yang menunggu di pojok ruangan. Sejak saat itu, saya trauma mengajar di depan kelas.

***
Pertengahan Juni, 2013

Seluruh barang bawaan telah kami angkut ke dalam dua mobil yang akan mengantar ke bandara. Rezano, koordinator tim penempatan saya nampak basah oleh peluh karena sedari tadi berkeliling memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Saya tidak dapat menyembunyikan rasa haru ketika satu persatu teman seangkatan saya turun dari kamar wisma, mengerumuni kami yang kurang dari setengah jam lagi akan berpisah. Ya, pelatihan intensif yang kami jalani selama delapan minggu ini purna sudah. Telah dicukupkan segala persiapan kami untuk menyebar ke 74 titik di Indonesia selama satu tahun penuh.


Tim saya, Bawean, adalah tim penempatan yang pertama berangkat. Saya tak mampu menahan air mata melihat satu persatu wajah teman satu angkatan yang mungkin tidak akan saya lihat dalam satu tahun ke depan. Nampak dari kejauhan, dia, yang akan paling saya rindukan wajahnya, suaranya saat memanggil nama saya, pun berbagai perbincangan singkat di tengah kesibukan kami menjalani pelatihan. Duh Gusti, saya benci perpisahan.

Saya masih ingat dua bulan lalu ketika berangkat ke Jakarta, perasaan saya tidak karuan. What the hell am I doing here? Masih jelas terpatri dalam ingatan, betapa takutnya saya terhadap anak-anak dan suasana mengajar di dalam kelas. Dan ibarat bunuh diri di medan perang, saya justru menyatakan siap untuk mengajar di pelosok desa.

Rupanya, dua bulan pelatihan tersebut mampu mengubah mindset bahwa mengajar bukanlah hal yang patut saya takuti. Trauma dapat disembuhkan dengan pembiasaan dan pembelajaran atas kegagalan. Saya masih sering tertawa-tawa sendiri ketika ingat sesi microteaching dimana saya harus memanajemen kelas dan saya gagal membuat anak-anak tersebut, yang diperankan oleh teman-teman saya sendiri, mau mengikuti keinginan saya sebagai seorang guru. Saya juga masih sering terngiang suara anak-anak kelas 1 SD Tantina Jatiluhur yang berkeliaran kesana kemari karena tak mau diatur. Ada pula potongan ingatan saat saya mengikuti survival Wanadri sebelum dan sesudah pelatihan, di mana ada saat-saat saya harus berjuang sendiri dan ditinggalkan sendirian di dalam hutan semalaman. Semua pengalaman tersebut nampaknya akan menjadi penyemangat ketika nanti di Bawean saya berada di titik jenuh, saya dapat berkata pada diri sendiri bahwa saya pernah berada dalam kondisi yang lebih buruk dari ini.

Mungkin selama satu tahun ke depan, orang-orang akan menganggap saya berubah. Tetapi sebenarnya, saya hanya akan belajar lebih banyak dari biasanya. Hidup adalah tentang menerima dan memberi, bukan?

***
Mungkin di sana, saya akan lebih banyak berjuang sendirian. Pasti akan ada saat-saat di mana saya merasa tak punya teman dan tidak ada orang-orang terdekat yang senantiasa mendukung. Tetapi inilah yang akan selalu diingat jika nanti saya berada di bawah titik rendah: saya sebenarnya tidak melakukannya sendirian. Saya tidak bangun pagi dan menyiapkan peralatan mengajar sendirian. Ketujuh puluh tiga teman saya yang lain di seluruh Indonesia sedang melakukan hal yang sama. Mungkin saat pengajar muda Musi Banyuasin baru saja menunaikan shalat subuh di masjid, pengajar muda Fakfak sudah bersiap di depan kelas dengan senyuman terhangat menyambut anak-anak. Mungkin saat itu pula pengajar muda Sangihe tengah berusaha mengeluarkan air dari longboat yang ia naiki untuk menuju ke kecamatan. Dan menghangatlah hati saya ketika membayangkan semangat dari ucapan selamat pagi dari anak-anak yang bergaung dari seluruh penjuru Indonesia, yang membangkitkan optimisme bahwa negara kita masih punya masa depan.