Sahabatku Ninda

Sahabatku Ninda, mungkin ketika aku sudah terjaga pukul empat menanti subuh, kamu masih terlelap di awal tidur setelah berjibaku dengan segala pekerjaanmu. Kita sama-sama letih dengan kantong mata hitam yang besar, mengais-ngais sisa waktu yang dapat digunakan untuk kembali terlelap. 

Boleh kita sebut diri kita sebagai wanita tangguh (tapi sebenarnya berhati rapuh)?


Dua bulan yang lalu, masa-masa tanpa kesibukan yang dahulu senantiasa kita keluhkan, akan segera menjadi masa lalu yang manis. Eh, manis kubilang? Mungkin aku menggigau. Tapi bukankah bangun setelah matahari terbit, menghabiskan siang dengan tidur atau mengobrol di kafe, atau menikmati sore sembari duduk di tepi rel Lempuyangan, adalah hal-hal mahal yang manis? 


Jika saja kita tahu bahwa masa itu akan segera menjadi tumpukan kenangan di pojok memori kita.




Ninda, dalam waktu yang kurang dari satu purnama itu, aku akan segera menjadi ibu guru. Akan kupakai pakaian terbaik yang kupunya, berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki dan tak sabar memastikan murid-muridku sudah menyambut dengan senyuman ceria dari balik dinding-dinding kelas. Membayangkan rutinitas baru itu, aku merinding hebat. Ada keraguan besar di dalam diri, mampukah aku menjadi panutan yang digugu lan ditiru. Aih, guru. Berat sekali tanggung jawabku. Manusia berumur 20an awal ini, akan mengajar di depan kelas, mengestafetkan mimpi-mimpi kepada anak-anak bermasa depan cerah, setiap hari selama satu tahun penuh. Kubayangkan hari-hari yang kubagi dengan murid-muridku yang haus ilmu, mungkin kami akan bersama-sama menanti sore di tepi punggungan bukit sembari belajar tentang cuaca. Atau mungkin, kami akan bercengkrama di bawah pepohonan berlomba membuat puisi tercantik untuk ibu gurunya.

Dan kamu Ninda, kamu akan menyongsong apa yang kamu sebut masa-depan-jangka-panjang-yang-cerah-namun-berliku. Sadarkah kamu, bahwa untuk mencapai jalan yang lurus, kadang Tuhan tak mengizinkan kita menuju ke sana tanpa lika-liku yang mendebarkan. Kubilang mendebarkan, karena kamu tak pernah tahu kapan jalan berlikumu itu akan berpotongan dengan jalan lurusmu- dan kamu akan segera mendapatkan masa-depan-jangka-panjang yang kamu inginkan.


Tak pernah ada pilihan yang salah. Karena benar atau salah sebuah pilihan, itu tergantung kita yang menamainya. Mungkin dalam empat minggu ke depan, kamu sudah duduk di dalam sebuah ruangan dingin, menghadapi tugas-tugas proyek dan rencana survei yang menumpuk, serta menyimak denyut nadi ibukota dari jendela ruanganmu yang jernih. Kita sama-sama sedang mencari muara yang tepat untuk kita mengendap. Muara tempat kita mengenolkan diri. Sesederhana itu. Ada masanya segala pencarian ini berakhir dan kita memilih untuk berlabuh di tempat yang kita inginkan. Sekarang, aliran sungai kita sedang deras-derasnya. Kita begitu tertantang melompati jeram-jeram tinggi, kelokan maut, dan batu-batu tajam yang melingkupi permukaan. Aliran itu menghanyutkan dan menerjang segala rintangan. 


Semoga itu kita. 


Ninda, akan kunanti sebuah masa ketika kita akan kembali menikmati hal-hal mahal yang manis itu. Satu, dua, atau tiga tahun ke depan. Kumohon, jangan lupakan bahwa kita pernah punya sebuah kisah klasik dimana kita benar-benar bisa tertawa lepas tanpa beban.