Kelana Nusa Tenggara (3): Sea Lady dan Irawan




Posting Kelana Nusa Tenggara sebelumnya, bisa disimak di sini. Selamat membaca :)

Mata kami membelalak lebar, merasa terkejut sekaligus senang. Sebuah kapal live on boardcokelat dengan desain Pinisi – meski tanpa tiga tiang – mengapung anggun di tengah tenangnya perairan Labuan Bajo. Boat fiber yang membawa kami bertujuh bergerak pelan meliuk di antara puluhan kapal LOB, menimbulkan riak-riak kecil yang terhempas tanpa jejak di dermaga. Semakin mendekat ke kapal yang kami tuju, hati makin riang. Sea Lady, nama kapal itu, akan menjadi tempat bermalam kami kali ini.

Lelaki berperawakan kecil tapi kekar itu menghampiri kami yang tengah sarapan pagi di sebuah warung. Kontur wajahnya keras, kulitnya coklat terbakar. Di tengah udara panas Pelabuhan Sape, kami berkenalan. Irawan namanya. Pemuda dari Bima, bekerja sebagai kru kapal LOB yang tengah sandar di Labuan Bajo. Ia baru saja pergi berlibur di kampung halamannya dan akan kembali ke kapal untuk mempersiapkan pelayaran pada Januari nanti.

Dalam enam jam selanjutnya, sepanjang perjalanan ferry dari Pelabuhan Sape – Labuan Bajo, Irawan menjadi cepat akrab dengan kami. Ia menguasai banyak pengetahuan tentang kelautan dan yang paling menyenangkan, ia pernah pergi ke Lamalera dan Alor. Pengalamannya sebagai kru kapal LOB memang membawanya berpesiar ke banyak tempat eksotis. Irawan orang yang murah senyum, suka bercanda, dan sangat baik. Saat bosan mengobrol, kami akan mengajaknya bermain UNO. Dia baru pertama kali main UNO tapi sialnya, dia tidak pernah kalah! Alhasil wajah kami berempatlah yang menjadi sasaran lotion putih sebagai hukuman.

Irawan rupanya pendaki gunung handal. Dengan antusias dia ceritakan pengalamannya mendaki Gunung Tambora dan Gunung Sanghiang, di kampung halamannya. Ia mencontohkan bagaimana dia dan kawan-kawannya susah payah mendaki trek pasir panjang dengan hujan kerikil di Gunung Sanghiang di Sumbawa. Saya bergidik ngeri membayangkannya. “Alhamdulillah semua gunung di NTB sudah saya daki mbak Kinkin!” ujar Irawan dengan senyumnya yang lebar. Belakangan saya tahu, Irawan ingin sekali mendaki Gunung Semeru, sampai-sampai ia punya nama akun Facebook: Qypli Mahameru.

“Nanti menginap di kapal saja!” suatu ketika Irawan berceletuk riang. Kami terheran-heran memandangnya. Keberuntungan bisa datang kapan saja. Kebetulan sekali kami tidak tahu harus menginap di mana malam ini. Tapi ini rasanya terlalu menyenangkan. Diajak menginap gratis di kapal LOB, yang konon harga pelayaran per orangnya bisa sama dengan harga umroh itu? Kami ngga mimpi kan?

“Tidak apa-apa, kapal masih kosong, tamu baru datang bulan depan…” pernyataan Irawan itu seakan menjadi penguat kami menganggukkan kepala. Belakangan dua bule Belanda yang kami temui di bus, Tom dan Roel, ikut ke dalam rombongan ini. Siapa yang bisa menolak tumpangan gratis?


Begitulah. Ketika ferry tiba di dermaga Labuan Bajo, teman Irawan sesama kru kapal segera menjemput kami dengan boat fibernya yang unik. Langit Labuan Bajo yang mendung tebal seakan memaksa orang-orang untuk segera kembali ke peraduan sebelum hujan besar datang. Sore itu, kami menghabiskan waktu dengan duduk-duduk di haluan kapal. Labuan Bajo hujan tetapi tidak sebesar yang kami bayangkan. Perairan yang tadinya tenang menjadi sedikit bergelombang, tetapi Sea Lady tetap mengapung dengan angkuhnya di tengah puluhan kapal lain. Kami memilih tidur di dek teratas, beralaskan kasur tipis seadanya. Angin  yang bertiup cukup menghilangkan kegerahan akibat udara laut yang lembab sementara Edo memilih tidur di kabin dek terbawah yang pengap tanpa jendela!

Sebenarnya kapal Sea Lady tidak begitu besar dibandingkan kapal-kapal LOB lain yang sandar di sana. Seperti mayoritas kapal LOB di Indonesia, pemilik Sea Lady bukan orang Indonesia. Dilihat dari domain website yang digunakan, Sea Lady adalah kapal milik perusahaan asal Ceko. Di Labuan Bajo, ada berbagai kapal dengan beragam ukuran, beberapa bertiang tiga hingga lima ala Phinisi dan besar sekali. Tapi kapal kayu bercorak biru ini yang saya sukai. Ia punya haluan yang panjang di mana kita bisa melompat ke laut sewaktu-waktu. Terdapat tiga tingkat dek di kapal ini. Dek terbawah tak berjendela karena terletak di lambung adalah kabin-kabin kamar penumpang. Dek tengah adalah meeting room, kamar mandi, dapur, haluan dan buritan kapal. Dek teratas adalah sebuah ruangan kecil tanpa sekat dan beberapa kursi kayu sengaja diletakkan untuk menikmati pemandangan. Ruang kemudinya sudah cukup canggih dan interiornya ciamik. Fasilitasnya sangat memadai. Hanya saja karena kapal belum beroperasi, kami tidak memiliki persediaan air bersih dan bahan makanan untuk dimasak.

ngga sempat motret... diambil dari sini
main UNO like a boss
nunggu sunrise di atap kapal

interior samping yang cantik!

Kapal ini dapat memuat hingga 18 penumpang termasuk kru kapal dan nakhoda. Saat itu hanya ada tiga kru kapal termasuk Irawan yang bertugas menjaga dan membersihkan kapal sebelum para tamu datang. Sekali berlayar, Irawan dapat mengantongi uang empat hingga lima juta rupiah. Belum lagi kalau mendapatkan extra tips dari tamu yang merasa puas dengan pelayanannya. “Tapi kalau kapal besar yang itu (menunjuk sebuah kapal Phinisi) bisa sampai dapat tujuh juta.” 

Sayangnya, Irawan tak pernah tahu berapakah harga yang dibayarkan oleh para tamu untuk berpesiar dan melakukan diving trip dengan Sea Lady. Belakangan kami googling ke website resminya, harga paket perjalanan reguler ke Alor selama 10 hari harganya mencapai 13 juta rupiah, dan termahal ke Raja Ampat mencapai 24 juta rupiah! Jika sekali trip mampu membawa hingga 18 penumpang, maka penghasilannya hampir 300 juta rupiah.

Di kapal tersebut, ada seorang ABK yang sejak awal kedatangan kami, ia terus menampakkan wajah cemberut. Seakan-akan tak suka dengan kedatangan kami, para tamu gelap. Saya sebenarnya sudah merasa tak nyaman dan siap diusir sewaktu-waktu, tetapi Irawan menyuruh kami tenang saja. Akhirnya pada hari kedua, kami bertujuh mengadakan trip 2 hari 1 malam ke Pulau Komodo dengan boat milik warga Komodo. Puas menggosongkan diri kami pulang pada sore harinya ke Sea Lady, dengan tubuh masih lengket bekas snorkeling siang tadi. 

Sesampainya di kapal, Irawan diajak mengobrol oleh ABK bermuka masam itu. Ada perdebatan singkat antara mereka hingga akhirnya dengan penuh rasa bersalah Irawan mengatakan bahwa kami harus meninggalkan kapal sore ini juga. Hahaha, akhirnya terjadi juga! Sebelum membawa kami ke darat, Irawan masih sempat melayani kami lagi dengan fasilitas mandi air tawar yang segar bukan main. Lalu masih dengan boat fiber, kami berenam menuju ke daratan Labuan Bajo untuk mencari penginapan dan makan malam.

Tom dan Roel memisahkan diri dan menyewa sebuah kamar di hotel sementara kami luntang-lantung mencari penginapan murah. Bantuan dari Irawan belum selesai. Ia menemani kami mencari penginapan yang biasa digunakan warga setempat sembari menunggu kapal datang. Harganya 30 ribu per orang dengan fasilitas seadanya. Irawan bersikeras menawar harganya menjadi 25 ribu tapi gagal. Kami sudah mulai kehabisan uang, 5 ribu rupiah adalah sangat berharga bagi kantong kami. Akhirnya kami memilih mencari penginapan lain dan jika masih belum menemukan, kami memilih menggelandang di Labuan Bajo sampai matahari terbit.

Tetapi Irawan tak habis akal. Ia mengajak kami mendatangi rumah salah seorang kawannya di dekat pelabuhan. “Nanti saya bantu kalian bilang untuk menginap di sana.” Dengan penuh percaya diri, Irawan mengetuk pintu dan memperkenalkan diri. Padahal ia sudah tahu bahwa kawannya sedang tugas berlayar selama beberapa minggu, hahaha. 

Orangtua Imam, kawan Irawan tersebut, menyambut kami dengan sangat ramah. Rupanya mereka berasal dari Sulawesi, tepatnya daerah Bulukumba. Belakangan kami baru tahu bahwa arsitektur rumah panggung tradisional tersebut adalah khas Sulawesi. Si Bapak bercerita dengan sangat semangat tentang dirinya yang dahulu adalah seorang pembuat kapal Pinisi. Mereka menyuguhi kami dengan berbagai cemilan dan menemani mengobrol hingga akhirnya Irawan menyatakan permohonannya mengizinkan kami menginap di sana semalam saja. Tanpa diduga, kami diperbolehkan menginap. Bahkan ibu Imam menyuruh saya dan Debby tidur di kamar anak kesayangannya itu. Alhamdulillah, orang baik dimana-mana.

Barulah pagi harinya tepat pukul delapan, kami berpamitan dan berjalan ke pelabuhan. Labuan Bajo sudah terpanggang teriknya matahari Flores dan kami langsung naik ke kapal yang sudah sandar sejak semalam. Di atas kapal, Irawan masih sempat menemani kami beberapa saat sebelum kapal berangkat.

Duh, sampai sekarang, saya masih sering tertawa kalau ingat kocaknya Irawan dengan logat khas Bima-nya. Ia adalah salah satu malaikat dalam perjalanan kami kali ini. Itulah mengapa saya sangat suka melakukan perjalanan : saya akan menemui banyak orang yang sangat-sangat lebih baik dari apa yang saya lihat di televisi. Orang-orang yang membantu tanpa pamrih. Dan Irawan adalah contoh sempurna tentang betapa ramahnya Indonesia Timur, yang selama ini digambarkan begitu rawan.
Irawan, semoga kita bisa bertemu lagi!

Irawan yang pandai menyelam dengan seribu gayanya :)