Kita Di Persimpangan


Aku anggap kita sedang sama-sama berada di sebuah persimpangan. Senja sudah sedari tadi menghilang, mungkin rindu tertidur di peraduan. Langit yang segera menjadi gelap membuat kita hanya saling menyapa sesaat tanpa banyak bicara. Mungkin, itu secepat kabut yang datang di pucuk-pucuk gunung yang angkuh. Atau mungkin, itu secepat dandelion yang menjadi gundul diterpa semilir angin. Atau mungkin, memang secepat itulah pertemuan kita.


Aku anggap kamu sedang terburu-buru. Kulihat tas gunung besar yang kau gendong, nampaknya akan ada yang pergi jauh sekali. Hanya punggungmu yang kulihat berjalan, semakin jauh, semakin kecil terlihat.

Tapi kamu lupa, di persimpangan sebelumnya kita telah berbicara sangat panjang. Duduk di tepi jalan membiarkan terik menggosongkan kulit kita yang berkeringat. Binar matamu menyiratkan sebuah semangat besar yang membuatku seakan harus selalu menatapmu. Aku takut binar itu hilang secepat aku berkedip.

“Kita akan baik-baik saja, aku akan menunggumu.”

Atas segala potongan mimpi yang kita susun bersama, semangat yang tak henti kamu bagikan, rasa manis dari sebuah kedekatan, tepukan di bahu dan elusan di kepala yang menenangkan, dan senyum yang tak pernah lekang oleh zaman,

terima kasih banyak.

Jadi, persimpangan itu hanya menjadi tempat dimana kita pernah menjadi dekat. Pernah, kini tidak lagi dekat. Di persimpangan ini, kita pernah membicarakan kemana jejak-jejak kaki akan kita buat bersisian. Di persimpangan ini pula, kita pernah menjadi begitu angkuh dan merasa paling pintar mencerca pahitnya kehidupan.

Mungkin memang bukan kamu. Mungkin sebaiknya aku tidak perlu berpikir terlalu berat tentang akan menjadi apakah kita. Karena kita, akan tetap menjadi aku dan kamu. Tidak lebih, itu saja.

Waiting is painful. Forgetting is painful. But not knowing which to do is the worst kind of suffering. 


Perhaps not to be is to be without your being.

*anggap saja ini fiksi, bagian dari hutang saya menulis untuk #IndonesianNggerusTravelBlogger. Monik, lunas ya!