Yadnya Kasodo Bromo








Lantunan musik tradisional yang lirih lamat-lamat terdengar tanpa terputus di antara kabut pekat dini hari tersebut. Terasa menyayat hati, entah mengapa. Sembari terus berlari menyamakan langkah dengan arak-arakan, saya membayangkan kisah Roro Anteng dan Joko Seger yang konon menjadi cikal bakal masyarakat Tengger dan upacara Kasodo di Bromo.

Saya berada di tengah segelintir rombongan pengiring ongkek-ongkek. Bersama saya, hanya ada kurang dari 10 fotografer yang sama-sama berlarian agar tetap berada di barisan depan. Sejenak saya merasa bahagia karena ekspektasi saya bahwa Kasodo akan seramai festival-festival lain yang pernah dihelat di Indonesia, rupanya salah besar. Ya, tidak banyak yang mau mempersulit diri di tengah bekunya udara pegunungan dan pekatnya debu Bromo, pagi ini.

Setelah berhenti di tiga tempat persembahan kecil untuk berdoa sejenak dan meletakkan sesaji, kami tiba di Pura Luhur Poten yang sudah dipenuhi para peziarah dan wisatawan yang ingin menyaksikan prosesi Kasodo. Ah, rupanya mereka semua menunggu di sini. Segera, arak-arakan menjadi objek ratusan fotografer yang haus dokumentasi. Saya yang sudah kelelahan memilih untuk duduk di pojok bersama rombongan, menanti waktu sahur untuk membuka bekal dari warung Tante Tolly.

Duduk kedinginan, saya larut dalam nyanyian kidung suci yang dilantunkan oleh para dukun pandhita. Walaupun tidak paham akan artinya, entah mengapa telinga ini sangat menikmati bait demi bait nyanyian mereka. Mungkin karena itu adalah doa yang berisi pujian dan harapan yang dipanjatkan kepada pemilik semesta.

Bromo pagi itu, tetap romantis seperti biasanya. Ada nostalgia yang saya titipkan untuk ikut terbuang bersama ongkek-ongkek dan ratusan sesaji lainnya, ke dalam kawah Bromo yang menganga...