Selimut Kabut Ranu Kumbolo



Pagi itu, kami masih bergelimpangan di dalam tenda. Udara dingin menggigit: dua lapis baju dan jaket polar rupanya tidak mampu menjadi penghangat diri. Kami saling berteriak dari tenda masing-masing, 'bikin sarapan yuuuk!' sementara tubuh masih ingin berbalut sleeping bag yang melenakan.
Akhirnya terdengar suara tenda sebelah dibuka, para lelaki terbangun sudah. Saya dan Monik memilih untuk tetap menyelimuti diri dengan sleeping bag, ketika mulai timbul suara-suara ribut. Nampaknya para pemilik suara tersebut tengah bergerilya mencari peralatan masak dan kompor.

Beberapa hela napas kemudian, tenda kami diketuk. Ketika resleting pintu tenda terbuka, segera hawa dingin masuk. Tapi bersamaan dengan itu pula sebuah tangan menyodorkan segelas minuman hangat yang kami tunggu-tunggu.

"Diminum dulu Kin." Udin, dia sudah bangun dan memasak air.

Terlanjur terpapar angin lembah yang beku menggigit, akhirnya kami memutuskan untuk keluar dari tenda. Untunglah sepatu saya simpan di dalam tenda sehingga ia tidak basah terkena embun. Saya kaget, Ranu Kumbolo pagi itu rupanya disergap kabut tebal. Punggungan bukit yang menaungi Ranu Kumbolo tidak nampak sama sekali, digantikan oleh kabut putih yang nampaknya hanya berputar-putar saja di sekitar danau.







Inilah Ranu Kumbolo di hari yang biasa, sebuah danau di ketinggian 2.500 meter seluas 14 ha yang pagi itu nampak sangat ramai oleh para pendaki. Ada jambore Jejak Petualang yang berlangsung sejak semalam. Barisan tenda berwarna-warni berjejer di tepian danau yang permukaannya nampak berasap. Saya tidak berani membayangkan suhu airnya, ketika beberapa saat setelah saya mengambil air di situ, beberapa host Jejak Petualang diceburkan ke dalam danau!

Setelah lengan milky way tidak nampak tadi malam, pagi ini tiada matahari terbit pula. Pupus sudah keinginan saya menyaksikan garis-garis kekuningan dari balik bukit legendaris di seberang Ranu Kumbolo. Di tempat ini, lebih dari empat puluh tahun lalu, Soe Hok Gie dan ketujuh teman pendakiannya membangun kemah pusat di tengah hujan deras yang mendera. Ketika itu masih ada pohon tumbang yang menjadi tempat favorit Idhan Lubis bersembahyang subuh. Saya masih mengingat dengan jelas bagaimana Rudy Badil menggambarkan cantiknya Ranu Kumbolo, yang masih sama hingga sekarang - minus kelompok belibis yang mencari makanan di danau. Ya, saya tidak melihat satupun burung hinggap di permukaan danau, mungkin karena ramainya pendatang.









Buat saya, Ranu Kumbolo adalah contoh sempurna bagaimana alam menjadi begitu romantis. Inilah serpih surga tak terkata di bumi Mahameru. Lembah berdanau dengan bukit-bukit savana yang kecoklatan dan pepohonan kurus yang menjulang tinggi, air danau yang bening menghijau menggoda untuk diselami, tanjakan panjang di sebelah barat danau yang legendaris dengan mitos Tanjakan Cinta-nya, tempat ini tak henti membuat saya berdecak kagum, mengucap syukur, dan menggariskan senyum di wajah. Dan kecantikan Ranu Kumbolo menjadi lebih sempurna ketika dinikmati bersama para sahabat, di antara teras-teras tenda yang menampung embun pagi, memasak sarapan sembari bercerita tentang siapa yang kentutnya paling banyak tadi malam.

Seorang teman pernah berkata, ada saat-saat kita dapat menjadi begitu romantis dengan Tuhan. Dan kali ini, saya dapat melakukannya dengan duduk sendirian di tepi punggungan, menatap danau dari kejauhan sembari menyeruput segelas milo panas. Diterpa matahari pagi yang hangat menenangkan dan berdialog mesra denganNya.

Setiap pendaki yang akan menggapai Mahameru pasti melewati tempat ini, saat pergi pun pulang. Saya agak menyesal hanya sempat nge-camp sekali di tempat ini karena di saat pulang kami terpaksa membangun tenda kembali di Kalimati. Tetapi, ada janji dengan diri sendiri untuk kembali ke tempat romantis ini, suatu saat nanti...

Semoga kelestarian Ranu Kumbolo selalu terjaga: setiap pendaki yang datang dan pergi sadar untuk tetap menjaga kebersihan sekitar danau dengan tidak membuang sampah pendakian dan 'sampah tubuh' sembarangan.

Mendaki melintas bukit / Berjalan letih menahan menahan berat beban / Bertahan didalam dingin/ Berselimut kabut Ranu Kumbolo//

Menatap jalan setapak / Bertanya - tanya sampai kapankah berakhir / Mereguk nikmat coklat susu / Menjalin persahabatan dalam hangatnya tenda / Bersama sahabat mencari damai / Mengasah pribadi mengukir cinta//



mendoakan Andika, anggota Mapala Setrayana Fisip UGM yang meninggal terperosok di jurang Blank 75 pada perjalanan turun dari puncak. Kisahnya penemuannya tragis. Andika, semoga namamu seabadi Mahameru.

P.S: Ranu Kumbolo dapat dicapai dengan berjalan kaki selama 4-6 jam perjalanan melewati jalan setapak dari desa terakhir, Desa Ranu Pane. Sebaiknya tiba sebelum hari gelap. Camping di Ranu Kumbolo adalah kegiatan favorit yang dilakukan para traveler yang tidak melanjutkan perjalanan menuju puncak. Jangan lupa tetap bawa peralatan standar camping dan baju hangat. Disarankan untuk tidak meminum air langsung dari danau tapi dimasak dulu, karena danau ini adalah genangan air yang tidak bergerak. #ifyouknowwhatimean :)