Semangat dari Matahari Terbenam




Hidup adalah berproses. Akan ada saat-saat kita gagal menjalani sesuatu, entah itu pekerjaan, mimpi, bahkan hubungan cinta. Terpuruk dan mengasihani diri sendiri terlalu lama akan merugikan dan tidak menghasilkan apapun. Sudah seharusnya ketika kita berada di bawah, maka akan berjuang lagi untuk bisa mencapai titik atas sehingga kita bisa kembali tersenyum bahagia. Karena itulah, buat saya yang namanya move on itu adalah sesuatu yang klise, bukan hal istimewa yang harus dilakukan dengan berat hati. Namanya juga proses kita menjadi manusia yang lebih dewasa, dibalik semua kegagalan itu tentu ada pelajaran.

Namun ada kalanya saya terlalu berat mencintai atau mengharapkan sesuatu sehingga saya kesulitan untuk bisa beranjak menuju cerita selanjutnya. Di saat itulah saya butuh media pelepas kegalauan, dan karena saya suka jalan, ya cara saya adalah dengan berjalan-jalan. Menyibukkan diri dengan segala persiapan sampai perjalanan itu sendiri hingga saya lupa bahwa saya sedang sedih. Biasanya saya kemudian mendapatkan semangat baru sehingga saya bisa move on dengan cepat.

Bagi manusia melankolis macam saya, salah satu pemandangan paling cantik yang dapat membangkitkan mood adalah ketika langit senja memerah padam dan gerombolan awan menyembunyikan matahari yang perlahan tenggelam. Karena itulah, dua destinasi move on favorit saya adalah tempat-tempat di mana saya dapat menyaksikan pemandangan tersebut, entah sendirian atau bersama sahabat.


1. Stasiun KA Lempuyangan | Tugu Yogyakarta

Buat sebagian orang, stasiun hanyalah menjadi tempat transit ketika melakukan perjalanan dengan kereta api. Kereta datang dan pergi mengantarkan ribuan manusia pada pertemuan atau sebaliknya, pada perpisahan yang menyedihkan. Selebihnya, stasiun menjadi tempat mencari rupiah bagi para pedagang, calo tiket, pencopet, atau preman garang tapi ceng ceng po. Sekilas, tidak ada hal istimewa yang dapat dilakukan di sebuah stasiun kereta api.

Tetapi untuk saya, stasiun adalah sebuah destinasi favorit ketika saya butuh sendiri. Dengan sangat percaya diri pula saya tetapkan stasiun kereta api sebagai salah satu tempat paling romantis di dunia. Di sini saya menyerap berbagai energi yang membuat saya kembali melangkah pasti sekeluarnya saya dari stasiun. Ada begitu banyak emosi yang secara alami tercipta dari para pemilik kaki-kaki yang berderap di lantai stasiun setiap saat. Hawa sedih perpisahan memang selalu menyeruak dari jendela-jendela si ular besi yang menua, tetapi ada pula atmosfer kebahagiaan setiap satu kereta tiba. Tidak lupa rindu tanpa tuan yang beterbangan tanpa arah di langit-langit stasiun tumpang tindih dengan desahan khawatir calon penumpang karena keretanya datang terlambat.

Beberapa kali saat saya patah hati karena putus atau cinta bertepuk sebelah tangan, stasiun selalu menjadi tujuan utama untuk menenangkan diri. Dua stasiun favorit saya adalah Stasiun Lempuyangan dan Stasiun Tugu Yogyakarta. Keduanya punya karakteristik romantis masing-masing dan semuanya menjadi candu. Dipadu dengan langit senja dan matahari terbenam yang memerah, maka semangat saya akan cepat terisi dan rasa sakit hati karena putus cinta akan segera terobati.

Spot favorit saya di sekitaran Stasiun Lempuyangan adalah daerah dekat palang kereta di bawah jembatan layang. Di sini, saya bergabung dengan puluhan orang yang datang dengan berbagai tujuan. Keluarga muda yang membawa anaknya melihat kereta api lewat, pasangan yang menanti senja sambil makan di angkringan, atau manusia-manusia soliter seperti saya yang sekedar mencari ketenangan. Duduk di bekas rel tua tak terpakai di pojokan sambil makan cilok atau telur puyuh goreng menanti  kereta Prambanan Express lewat. Terkadang lebih menarik untuk melihat anak-anak kecil yang asik bermain di arena memancing sederhana atau bayi-bayi yang menangis karena dipaksa makan oleh ibunya.

Sayang sekali sejak beberapa bulan yang lalu saya tidak bisa lagi turun ke daerah berumput di sekitar rel yang menggoda untuk dijamah karena adanya larangan dari petugas stasiun. Pun sekarang petugas melarang orang tidak bertiket untuk masuk peron. Tetapi selalu ada cara untuk duduk di kursi stasiun menanti kereta tiba, yaitu dengan membeli tiket Pramex atau jika sedang bokek, pura-pura izin saja ke kamar mandi.

Sementara di stasiun Tugu, setelah membeli sweet corn keju dan segelas es teh manis, saya selalu memilih kursi di tengah area tunggu kereta agar bisa menyaksikan seluruh cerita yang terjadi di jalur-jalur kedatangan secara lengkap. Dulu saya pernah mengantarkan kepergian seorang mantan terkasih yang naik kereta ke ibukota. Saya duduk sambil makan sweet corn, menyaksikan dirinya melambaikan tangan dari balik jendela kereta yang mulai berjalan hingga akhirnya menghilang di ufuk barat. Ketika suara kereta sudah tak terdengar lagi, barulah saya menangis sejadinya karena tetiba merindukan dia. Di jalur tiga, pernah pada suatu ketika untuk pertama kalinya ibu memeluk saya mengucap salam perpisahan sederhana untuk saya yang akan pergi magang. Di stasiun ini, saya pernah menjadi sangat melankolis. Tetapi di sini pula saya mendapatkan energi positif untuk move on.

Saya selalu membayangkan bertemu cinta di stasiun atau kereta api. Ia pasti seorang lelaki petualang yang juga menganggap stasiun kereta api adalah tempat yang romantis.


2. Landas Pacu Parangendog

Saya pernah beberapa kali mencoba memanjat tebing yang berada di sebelah timur pantai Parangtritis yang tersohor itu. Untuk mencapai tempat pemanjatan, kami harus bersusah payah menggeber motor kesayangan mendaki jalanan yang terjal dan menanjak tajam. Saat itu jalanan menuju ke sana masih berupa makadam yang setiap saat dapat membuat motor terperosok ke selokan. Bahkan terkadang motor tidak kuat menanjak padahal gas sudah digeber di titik maksimal. Sungguh perjuangan, di saat itu, untuk bisa memanjat di tebing-tebing Parangendog.

Biasanya kami memanjat hingga sore, dilanjutkan beristirahat di warung Yu Mar yang ramah, sekedar untuk makan nasi bungkus atau pisang goreng. Jika kaki sudah tak lelah dan perut sudah terisi penuh, kami berjalan ke belakang warung dan menaiki anak tangga batu yang sudah rompal di sana-sini. Kemudian suara decak kagum akan segera keluar dari mulut kami bersamaan dengan kaki yang menapak anak tangga terakhir di puncak bukit.

Segera, pemandangan laut selatan yang terhampar luas ditingkahi angin laut yang berhembus kencang menyambut kami. Awan-awan yang berarak di ufuk barat tampak mulai memerah karena matahari bersembunyi di baliknya. Pemandangan ini sungguh candu dan menenangkan sehingga meskipun kami sudah tidak pernah memanjat lagi, kami tidak pernah absen mengunjungi landas pacu Parangndog untuk sekedar menyapa sore dari tempat yang tinggi.

Tidak ada keramaian yang memusingkan di sini. Mungkin hanya ada muda-mudi yang juga turut menanti matahari terbenam sambil sedikit bermesum ria. Tetapi selama tidak ada penjual makanan atau rombongan turis gila foto, itu masih bisa dimaklumi. Buat saya, landas pacu ini cocok dikunjungi pada tiga kesempatan: saat pedekate, saat putus, dan saat ingin mencoba move on. Yang penting jangan dikunjungi saat semangat hidup ada pada titik terendah, karena landas pacu yang berbatas langsung dengan udara pantai akan sangat menggoda dijadikan tempat bunuh diri. Naudzubillah.

Biarkan angin laut lembut membelai pipi, ditemani samudra yang berkilauan nampak tenang tanpa suara, saya akan setia menunggu senja datang dan matahari terbenam sempurna di cakrawala. Ini adalah tempat di mana menghela napas dalam-dalam sembari memejamkan mata menjadi sesuatu yang sangat, sangat nikmat.

Sayangnya, tempat ini semakin populer. Datang di akhir minggu sama saja menjemput kekesalan. Bukannya pulang dengan tenang dan berhasil move on, malah stress karena berdesakan dengan anak-anak muda yang heboh berfoto di tepi landas pacu.

----------
Saya mendapatkan tantangan menulis destinasi move on bersama-sama dengan empat penulis keren: Nuran, Dhani, Farchan, dan Awe. Sempat minder dan nyerah nulis. Tema yang benar-benar absurd dan ternyata cukup sulit! Saya akhirnya berhasil menyelesaikan tulisan ini setelah ditemani lagu Resah dari Payung Teduh. Aih, nggerus!