Bumi Halmahera: Triple Combo Morotai part 1

 

Tidak seluruh acara jalan-jalan saya berlangsung dan berakhir menyenangkan. Ada satu dua pengalaman yang berkesan sekaligus tidak ingin saya ulangi. Transportasi yang jelek, cuaca yang tidak mendukung, atau kondisi tim jalan-jalan yang tidak baik dapat menyebabkan pengurangan kenikmatan jalan-jalan. Dan jika yang terjadi adalah kolaborasi ketiganya, maka akan menghasilkan mimpi buruk.

"Morotai itu pulaunya gersang gitu, ga ada apa-apanya. Yang bagus emang underwater view nya."
ucapan Andrea saat itu hanya menjadi angin lalu bagi saya dan teman-teman satu subunit. Andrea adalah tim KKN Jailolo Timur tahun sebelumnya, dan dia sempat mengunjungi (baca: honeymoon) Pulau Morotai pada medio 2010.

Sudah sejak saat perencanaan keberangkatan KKN kami memasukkan Morotai sebagai salah satu destinasi wajib dikunjungi di Maluku Utara. Pikiran kami saat itu sama: pulau-pulau di Maluku pasti berpasir putih dan lautannya berwarna biru toska. Saya sendiri sudah membayangkan tidur-tiduran di atas pasir putih halus di tepi laut sambil makan kelapa muda. Kalau bosan tinggal nyemplung ke laut atau duduk-duduk di dermaga.

Setelah seluruh kegiatan KKN di desa kami selesai (atau dipaksa selesai saat itu, hahaha) akhirnya pada awal Agustus 2011, di tengah teriknya siang di awal bulan ramadhan, kami berangkat menuju Pulau Morotai. Pada perjalanan kali ini kami ditemani Acil, pemuda desa Akelamo Kao yang menawarkan diri menjadi guide kami.

"Tenang saja, saya pe banyak saudara di Morotai... hahaha..." ujar Acil dengan penuh rasa percaya diri. Wah, akomodasi aman nih, pikir saya.

Sebenarnya perjalanan ini sudah hampir batal karena kejadian tidak mengenakkan yang bikin saya ngambek (oke ini curcol). Ditambah lagi, pada malam sebelum keberangkatan, Indro mengalami demam sangat tinggi dan badannya terus-terusan menggigil. Hanya satu pikiran kami saat itu: Indro mungkin kena malaria.

Akhirnya kami membawa Indro ke bidan desa. Indro yang takut jarum suntik saat itu sudah tidak bisa melawan lagi. Untunglah saat itu alat tes malaria tersedia. Dalam 25 menit kami mendapatkan hasilnya, dan yak! Indro positif malaria. Bidan desa nampaknya sudah terbiasa menghadapi kondisi itu, dia hanya memberikan wejangan singkat tentang perawatan sederhana untuk Indro. Tetapi karena kurang yakin akan hasil tes tersebut, kami berniat membawa Indro ke RSUD Tobelo keesokan harinya untuk mengikuti tes lagi dan mendapatkan pengobatan yang lebih layak.

Tobelo yang merupakan ibukota Halmahera Utara adalah kota terbesar di Halmahera dengan jumlah penduduk sekitar 25 ribu jiwa. Biasanya kapal-kapal pembawa logistik dan beragam barang kebutuhan lebih banyak merapat di Tobelo daripada Sofifi, ibukota Halmahera Barat. Kota ini sangat hidup dan bisa disandingkan keramaiannya dengan Ternate. Dan ya ampun, banyak sekali paras putih cantik dan tampan berseliweran di Tobelo karena percampuran antara darah Maluku, Bugis, Tionghoa, Portugis, hingga Philipina. Kebayang kan ya, remaja tanggung berparas Indo dengan kulit putih susu melenggang begitu saja di antara keramaian pasar. Atau lelaki bermuka Philipina dengan alis tebal khas Maluku berjualan handphone di outlet samping mall. Saya jadi ingat salah satu pemain sepakbola Akelamo kao yang saya idolakan karena mukanya mirip artis Thailand ternyata tidak ada apa-apanya di sini. Hahaha. 

Singkat cerita, Indro ternyata positif malaria. Kondisinya lemah tetapi dia tidak diharuskan untuk mondok di rumah sakit. Obatnya sebenarnya mudah: banyak makan, banyak minum air, minum susu, dan jangan lupa minum obat. Dengan wanti-wanti dokter tersebut kami sampai pada sebuah kesimpulan: asalkan Indro dijaga makan dan kesehatannya, dia pasti bisa ikut kami ke Morotai!
 
Seselesainya memeriksakan Indro, hari sudah beranjak sore. Karena itulah kami memutuskan untuk menginap di losmen dekat pelabuhan. Tetapi karena hari masih sore, kami menyempatkan jalan-jalan keliling Tobelo setelah mendapatkan penginapan. Kami mampir ke sebuah pantai di Desa Luari, Tobelo. Kata pak supir oto, pantai ini terkenal dengan arusnya yang tenang dan semenanjungnya yang cantik. Tapi yak sekali lagi kami tidak beruntung. Pantai Luari airnya sedang pasang dan langit mendung membuat saya tidak bersemangat bermain di sana. Kami hanya mampir sebentar dan segera beranjak sebelum adzan magrib berkumandang.

menyempatkan diri bikin beginian

Sembari mencari makanan berbuka, kami mencoba berkeliling kota dengan berjalan kaki. Suasana malam hari di Tobelo, apalagi di bulan puasa, sangat meriah dalam arti sebenarnya. Anak-anak Tobelo suka sekali bermain petasan dan sudah tidak terhitung lagi berapa kali kami yang sedang menyusuri jalan dilempari oleh mereka. Sampai-sampai saya yang sebenarnya takut sekali sama petasan menjadi terbiasa. Selain itu, banyaknya warung penjual CD dan DVD lagu-lagu Indonesia dan Maluku di pinggir jalan membuat telinga saya semakin terasa budheg. Lagu-lagu yang ngehits di kampung saya seperti Alay, Hamil Tiga Bulan, Asolole, dan lagu-lagu lain yang menyedihkan diputar dengan suara memekakkan telinga untuk mendatangkan pembeli.

Ketika pagi masih muda, kami sudah bersiap di depan losmen menunggu dijemput oleh angkot yang akan mengantarkan kami ke pelabuhan Tobelo. Angkot di Tobelo persis seperti angkot di Ternate, Sofifi, dan beberapa wilayah lain di Maluku Utara: si sopir hobi sekali menyalakan musik dengan volume maksimal! Dan lagu yang diputar tidak jauh-jauh dari genre dangdut koplo. Jadi ketika kita berpapasan dengan angkot lain seakan-akan sedang terjadi duel musik dahsyat. Terkadang jika kami melewati rumah penduduk, mereka akan memaki-maki si sopir yang tidak peduli dengan suara musik yang dapat membangunkan bayi-bayi.



Suasana pelabuhan Tobelo pagi itu tidak begitu ramai. Hanya ada satu dua kapal mesin yang menunggu berangkat. Kami agak kesulitan mencari speedboat yang mau mengantar ke Morotai, ada pun harganya mahal jika dicarter hanya untuk 8 orang. Saat duduk di tepi dermaga speedboat itulah saya mendapatkan kabar duka bahwa Mami Kantin Padmanaba tutup usia. Seketika saya menangis dan mood saya turun drastis. Ditambah mendung yang menutupi matahari dan teman seperjalanan yang sakit parah, rasanya saya hanya ingin duduk dan merenung saja. Tetapi seorang petualang tidak boleh putus asa dan mudah bersedih. Akhirnya setelah sedikit mengobrol dengan Siti, saya kembali bersemangat.

di dermaga ini saya duduk merenung

Sementara kami duduk menunggu penumpang Indro terus-terusan mengeluh sambil tersenyum kecut, 'iki kok aku iso-isone melu nang Morotai...' (ini kok aku bisa-bisanya ikut ke Morotai..)

Setelah hampir 1 jam menunggu, kami mendapatkan penumpang tambahan. Speedboat pun segera dipenuhi penumpang dan barang-barang yang naudzubillah banyaknya. Interior speedboat yang berwarna biru dan langit-langit yang pendek sedikit membuat mata saya pusing. Segera saya ambil posisi duduk sambil memeluk tas, baiklah, gelombang laut pagi ini nampaknya tidak begitu bersahabat. Saya bersiap untuk guncangan selama 2 jam perjalanan nanti.

tepi pelabuhan Tobelo, bersiap berangkat

Benar saja, rupanya gelombang laut sedang tinggi. Mendung pun menggantung sejak pagi tadi, rasanya seluruh lautan hanya nampak berwarna abu-abu. Hujan rintik-rintik sepanjang perjalanan. Berkali-kali speedboat terhempas keras di permukaan laut setelah 'terbang' akibat gelombang. Ditambah lagi pengemudi speedboat yang menyetir kayak lagi balapan. Padahal jika speedboat terlalu ngebut dapat menyebabkan badan speedboat pecah terkena ombak. Cerita mengenai dua kecelakaan speedboat yang pecah membuat saya sibuk mencari-cari letak life jacket dan ternyata ada di bawah kaki. Saya sudah mulai merasa mual dan pandangan saya berkunang-kunang. Dalam hati saya kasihan sama Indro, dia tidak bisa berenang dan takut air dalam, ditambah sakitnya yang parah, pasti ini menjadi perjalanan paling menakutkan dalam hidupnya.

Dua jam di dalam speedboat yang tergoncang keras dan bunyi mesin yang begitu berisik sangat tidak nyaman rasanya. Bermacam posisi tidur sudah saya coba dan berakhir dengan selonjoran cuek di atas kursi kapal. Ketika saya sudah sampai di puncak bosan, mesin kapal menderu lebih pelan. Saya kira sudah akan sampai, rupanya pulau masih jauuuh di sana. Speedboat harus menurunkan kecepatan karena semakin mendekati pulau, akan semakin banyak bangkai kapal selam dan pesawat peninggalan Perang Dunia kedua di sekitar Pulau Morotai. Nampak besi-besi tua menyembul dari permukaan laut, saya bergidik ngeri membayangkan lambung speedboat sobek akibat nyangkut disitu, hiii..

Barulah setengah jam kemudian speedboat benar-benar merapat di Pelabuhan Morotai. Alhamdulillah, Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk hidup lebih lama. Suasana pelabuhan cukup ramai dan sudah nampak apa yang diceritakan oleh Andrea: pulau ini gersang. Kami bersegera mencari transportasi untuk mencapai rumah saudara Acil yang terletak di dekat wilayah transmigrasi dan bandar udara Morotai. Kami memilih untuk naik ojek karena katanya bentor tidak kuat untuk jalan menanjak. Dalam hati saya berpikir, emang kayak apa sih jalannya sampai bentor aja nggak kuat?

...bersambung ke part 2