kereta ekonomi

Saya sangat suka naik kereta ekonomi, akhir-akhir ini.

Selalu ada romansa di sebuah gerbong kereta ekonomi yang dipadati ratusan penumpang. Selalu ada pengalaman baru di antara kursi-kursi berbusa tipis tegak lurusnya. Selalu ada cerita saat lutut-lutut bertubrukan karena sempitnya ruang untuk kaki berselonjor.

Kereta ekonomi kini tidak seperti dulu, dimana perjuangan mendapatkan tempat duduk hampir selalu menjadi sia-sia karena kalah oleh mereka yang lebih gigih mendapatkannya. Dorong sana sini, berteriak karena terjepit, dan akhirnya harus berselonjor di lantai kereta dan kepala terantuk keranjang pedagang yang lewat. Kini semua orang pasti mendapatkan tempat duduk, walau harus berdempetan dan masih banyak pedagang yang terus berdatangan sepanjang malam.

Di kereta ekonomi, kita bisa bertemu lebih banyak orang dan berinteraksi mengenai banyak hal. Dari mahasiswa berbudget tipis yang ingin pulang kampung, ibu-ibu dan anak kecilnya yang menangis terus, pegawai kantoran yang rutin pulang ke kampung halaman tiap dua minggu, atau rombongan pendaki yang kelar muncak di gunung.

Pada awalnya saya tidak terlalu nyaman duduk di kursinya yang membuat saya tidak bisa tidur. Terkadang jendela gerbong tidak bisa ditutup sehingga ketika hujan turun saya harus berjibaku menyelamatkan laptop yang diletakkan di samping saya. Belum jika penumpang di sebelah saya berbadan besar sehingga saya terhimpit, membawa banyak barang, atau yang lebih buruk: dia bau. Tapi kemudian makin lama saya makin pandai memposisikan tubuh agar dapat tidur nyenyak di kereta ekonomi. Lima jam tertidur pulas pun kini saya mampu sehingga ketika tiba di ibukota sudah segar kembali. Terkadang kaki menjadi bengkak karena terlalu lama duduk atau muka berminyak karena semalaman berkeringat.

Sebenarnya pemandangan di perjalanan sepanjang Jogja-Jakarta itu sangat cantik. Hamparan sawah, perbukitan yang membiru, bahkan jika beruntung kita bisa melihat matahari terbit atau terbenam. Suatu saat saya tertidur tiba-tiba dengan hebohnya Uci, teman saya, menepuk tangan saya agar terbangun. Segera kami terperangah melihat pemandangan di Jawa Tengah: kereta kami melewati sebuah jembatan besar dan di depan adalah bendungan Serayu dengan latar belakang bukit hijau dan sungai besar!

Deritanya adalah, kereta ekonomi itu puanas sekali hawanya. Aku harus berbagi oksigen dengan ratusan penumpang, kami sibuk mengipasi diri, mengeluh, bayi-bayi menangis, untungnya, tidak ditambahi dengan penumpang yang merokok!

Walaupun sama-sama stasiun, perasaan antara ketika sampai di stasiun Tanah Abang Jakarta dengan stasiun Lempuyangan Jogjakarta selalu berbeda. Di Jakarta, atmosfirnya tegang, karena saya harus berpikir naik apa buat pulang ke kosan pada pukul empat pagi! Hahaha. Sementara di Jogja, sepagi apapun saya tiba, saya merasa tenang, karena ini kampung halaman saya. Pun mata selalu berbinar melihat ketika tiang-tiang stasiun Lempuyangan mulai nampak dan penumpang mulai beranjak dari kursinya…