Ayu dan Refleksi Tahun Baru

Acara gathering yang diadakan di sebuah kantor akuntan publik sore itu sempat membuat saya khawatir. Sejak awal acara dibawakan dalam bahasa inggris karena audiensnya tak hanya orang Indonesia. Padahal, ada salah satu pengisi acara yang juga merupakan adik asuh di yayasan kami. Mampukah ia presentasi dalam bahasa inggris di depan para profesional yang meluangkan waktunya sesaat untuk duduk manis mendengarkan kami?

"Gapapa Kak, saya pakai bahasa Inggris saja," Ayu, nama pengisi acara termuda tersebut, berdiri dengan penuh percaya diri ketika ditawari untuk menggunakan bahasa indonesia dalam speechnya. Decak kagum segera muncul dari sesama pengisi acara. Anak ini tidak main-main.

Lalu terdengarlah suaranya memperkenalkan diri dalam bahasa inggris yang lancar. Ruangan seketika senyap memperhatikan Ayu menjelaskan perihal keinginannya melanjutkan studi di Jepang. Saya yang duduk di kursi operator, seketika harus membalikkan badan untuk menyeka air mata. Saya terharu karena ia ternyata mampu melampaui ekspektasi kami semua.

Ayu saat memperkenalkan dirinya di depan audiens. (Foto oleh: Dwinawan)
Bertahun lalu, Ayu mungkin hanyalah satu dari sekian banyak 'anak desa biasa' yang hidup di pelosok Bantul, Yogyakarta. Pertemuannya dengan Hoshizora Foundation memberikannya satu alasan kuat untuk bisa melihat dunia lebih luas. Dengan kemampuannya sendiri, Ayu mengumpulkan berbagai informasi penting mengenai sekolah favorit yang ia incar: MAN Insan Cendekia di Tangerang. Ia ceritakan bagaimana dirinya mempelajari sendiri bahasa Arab melalui internet dan bertanya sana-sini demi bisa lulus ujian masuk sekolah bergengsi tersebut. Jika bukan karena tekad, seorang Ayu mungkin akan kesulitan menembus batas-batas dirinya untuk bisa memperoleh informasi yang diinginkan.

Ayu kini sudah menginjak tahun ketiga bersekolah di sana. Prestasinya luar biasa: keluar dari zona nyamannya, jauh dari keluarganya, demi menempa diri agar bisa lebih baik. Ada satu mimpi yang kini ia kejar yaitu mendapatkan beasiswa Monbukagakusho untuk menempuh studi Ilmu Komputer di Jepang. Kala saya menjabat tangannya saat perpisahan kami di Stasiun Tanah Abang, binar mata dan senyumnya menunjukkan bahwa ia akan punya masa depan yang cerah.

(Ayu menuturkan perjalanan panjangnya meraih cita-cita secara lengkap di sini.)

Di yayasan tempat saya bekerja saat ini, saya temukan banyak Ayu-Ayu lain yang tak kalah menginspirasi. Saya sering merinding saat mengetikkan cerita-cerita mereka untuk berbagai media publikasi. Anak-anak ini punya masa-masa yang lebih sulit daripada orang kebanyakan, tetapi di saat yang bersamaan mereka pun punya masa-masa yang lebih hebat untuk dikenang. Mereka ini tidak mau terkekang dalam himpitan ekonomi yang mungkin sudah dirasakan sejak baru belajar berjalan. Beberapa mulai mekar berkembang, ada yang berhasil kuliah di universitas idaman, ada yang mulai merintis usaha, ada yang bekerja lebih dari apa yang pernah dibayangkan, tapi ada pula yang masih bingung apa yang ingin diraih kemudian.

Kemudian saya malu pada diri sendiri. Saat saya di usia yang sama, sudah sekeras inikah saya berjuang meraih cita-cita? Kini ketika usia saya menginjak kepala dua puluh, sering sekali ada keinginan yang berakhir dengan gumaman "Ah, kenapa nggak dari dulu…"

Saya tidak mencoba pertukaran pelajar saat SMA padahal saya ingin. Saya tidak mencoba mengikuti kursus bahasa Spanyol padahal saya ingin. Saya tidak mencoba mengikuti berbagai kegiatan unik padahal saya ingin. Saya tidak melanjutkan studi di jurusan idaman padahal saya ingin.

Dan banyak "saya tidak mencoba … padahal saya ingin" lainnya yang kini saya sesali.

Saya menyesalinya bukan karena saya telah melakukannya, tetapi justru karena saya tidak mau melakukannya. Saya kepalang takut dan gundah melihat sekeliling, bukannya memperkuat motivasi dan menjadi percaya diri.

Nyaris tiga bulan saya bekerja di yayasan ini, saya menemukan banyak hal baru. Salah satunya adalah bahwa motivasi dan inspirasi tak melulu datang dari mereka yang lebih tua. Ternyata mereka yang berusia jauh di bawah kita membawa hal-hal baru yang tak terpikirkan oleh kepala. Di usia dua puluhan ini nampaknya banyak hal yang masih belum terlambat untuk dikejar. Mumpung belum menikah, belum berkeluarga, dan belum membawa serentetan tanggung jawab baru lainnya. 

Jadi resolusi 2015 adalah mencoba apa yang sedari dulu saya ingin. Sebelum terlambat dan saya hanya bisa menyesalinya.

Selamat tahun baru 2015. Semoga di tahun ini kita bisa lebih baik dari sebelumnya, bisa lebih bermanfaat bagi sesama. Kurangi meminta dan menuntut, perbanyak memberi. Percayalah, itu tidak akan membuatmu merasa kurang.

***

Kini saya membantu teman-teman di Hoshizora Foundation, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap pendidikan dengan memberikan beasiswa kakak asuh kepada adik asuh di seluruh Indonesia agar dapat terus melanjutkan pendidikannya. Tertarik menjadi kakak asuh dan melihat sendiri bagaimana adik asuhmu berkembang? Sila klik hoshi-zora.org :)