Mereka Yang Berproses

Saya percaya bahwa baik tidaknya perilaku anak berasal dari pembiasaan. Children do what children see. Anak yang dibesarkan tanpa amarah dan emosi akan tumbuh jadi manusia penyayang. Anak yang sennatiasa melihat atau mengalami kekerasan fisik akan menjadi manusia kasar. Anak yang dibesarkan tanpa kesabaran dan keikhlasan akan tumbuh menjadi manusia pendendam. Bagaimana cara anak dibesarkan, seperti itulah ia akan berkembang.

Saat ini sudah tujuh bulan saya bertugas di sebuah sekolah di pucuk perbukitan. Di sini, saya temui kenyataan bahwa anak-anak dusun bersekolah dan bermasyarakat dalam hawa acuh yang pekat. Acuh dengan teman, guru, dan lingkungan sekitar. Para siswa ini tidak terbiasa mencium tangan guru atau menyapa saat bertemu gurunya, membuang sampah sembarangan, dan tidak memperhatikan sekitarnya. Ah satu lagi, mereka tak terbiasa mengekspresikan diri. Awal datang, saya sempat merasa heran (sekaligus agak sakit hati) karena anak-anak ini tidak menunjukkan sambutannya pada saya. Kelihatan senang tidak, kelihatan sedih juga tidak. Baru belakangan saya tahu bahwa mereka sangat senang karena mendapatkan guru perempuan. Itupun hasil bisik-bisik di belakang saya!


Meski sudah dua tahun menjadi tempat penugasan pengajar muda, bukan berarti semudah itu perubahan entitas perilaku dapat terjadi. Salah satunya, sungguh sulit setengah mati membiasakan anak-anak itu menunjukkan sikap hormat kepada gurunya, dan mungkin butuh bertahun-tahun untuk mengubah hal tersebut. Tetapi bukan berarti tidak ada titik terang. Siswa kelas kecil cenderung cepat meniru yang dilakukan orang dewasa di sekitarnya, dalam waktu singkat mereka menjalankan apa yang diminta. Guru wali kelas 1 cukup paham masalah ini. Ia mewajibkan anak-anak untuk mencium tangan para guru saat berangkat dan pulang sekolah.

Dulu saya tidak sepenuhnya setuju akan kebiasaan ini. Alasannya sepele: siapa tahu tangan para guru itu kotor dan kumannya masuk ke mulut anak-anak. Tapi kemudian saya melihat bahwa manfaatnya lebih besar. Saat anak-anak menghampiri dan berebutan mencium tangan, saya bisa berinteraksi dengan mereka begitu intens. Mengajak ngobrol, menanyakan kabar, memberi ucapan salam, atau sekedar memberikan elusan lembut di kepala.

Atas pertimbangan itulah, saya mengarahkan agar jidat mereka saja yang bersentuhan dengan tangan saya, bukan mulutnya :))

Kedua, kebiasaan membuang sampah di tempatnya. Weer.. Weer.. Bungkus permen dan makanan kecil dibuang sekenanya di halaman sekolah. Sehari mungkin tak nampak kotornya, tetapi seminggu sudah jadi semacam tempat pembuangan akhir. Saya selalu ingatkan anak-anak dan menyuruh mereka yang ketahuan membuang sembarangan untuk mengambil sampahnya (tapi lebih seringnya mereka tetap acuh dan pergi begitu saja) serta meletakkan banyak tempat sampah di koridor sekolah. Bulan pertama, saya kewalahan. Menginjak bulan kelima, perubahan baik tengah terjadi. Bulan ketujuh, saya tidak perlu lagi berteriak-teriak mengingatkan anak di ujung koridor untuk membuang sampah di tempat sampah.

Anak-anak ini berproses. Mereka bukan manusia yang jenuh menerima perubahan.

Ketiga, kebiasaan menyelesaikan apa yang sudah mereka mulai. Dari hal-hal kecil saja seperti mengembalikan buku ke tempatnya, menyelesaikan kegiatan piket kelas, membereskan meja setelah percobaan. Tapi ya namanya tidak biasa, akan menjadi susah bukan main. Anak-anak ini terbiasa saling menunjuk siapa yang paling bertanggung jawab. Pada akhirnya, malah tidak ada yang menyelesaikannya sama sekali. Akhirnya saya pakai metode pukul rata jika tidak ada satupun yang mau bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan. Lumayan berhasil! Ibu Sofi, wali kelas 6 sekaligus partner terbaik saya lah yang banyak mengajarkan hal ini. Tadinya saya begitu lembek berperilaku pada anak-anak. Iya-iya aja begitu. Beliaulah yang mengajarkan saya agar tegas memberikan peraturan dan hukuman. Pak Mujo, kepala sekolah saya, juga menyatakan hal yang sama. "Jangan terlalu sayang lah Bu sama anak-anak. Nanti mereka tidak hormat sama sampeyan." Meski kelihatannya kejam, tapi itu betul! Biar bagaimanapun seorang guru harus tetap menjaga wibawa di depan anak-anak didik. Caranya bagaimana, terserah diri masing-masing.

Satu dua kendala pasti ada. Yang paling menyulitkan adalah perilaku orang dewasa di sekitar mereka yang seharusnya dijadikan contoh. Bagaimana anak-anak mau buang sampah di tempatnya jika gurunya saja seenaknya meninggalkan sampah di kantor? Bagaimana anak-anak mau datang sekolah tepat waktu jika guru-gurunya saja datang terlambat satu jam lebih? Bagaimana anak-anak mau jadi ramah dan peduli jika gurunya saja acuh terhadap mereka? Bagaimana anak-anak mau tumbuh jadi manusia penyayang jika orang tua dan gurunya saja tidak pernah mengekspresikan rasa sayang?

Anggaplah anak itu adalah batuan kasar tanpa bentuk yang siap dipahat. Bentuk akhir mereka tergantung pada si pemahat. Saat masih dalam proses, jika si pemahat akan membuat perubahan tentu lebih mudah daripada setelah pahatan selesai. Jika pemahatnya telaten dan jago, ya hasilnya memuaskan. Jika pemahatnya sekenanya, ya hasilnya pun amburadul. Bukan begitu?