Obrolan Cepo Mak Masnah

Pada malam-malam yang beranjak sunyi, Emak Masnah senantiasa melakukan hal yang sama: membuat cepo dari bambu. Cepo adalah tempat menyimpan barang-barang dapur atau beragam makanan. Potongan bambu yang diambil dari rumpunnya tersebut ditipiskan, diserut hingga halus kemudian dianyam dan diberi tatakan datar. Tekun sekali Emak mengerjakan satu demi satu cepo berukuran sedang tersebut. Jika sudah banyak yang dibuat, Emak kemudian menjualnya ke Pasar Kepuh yang terletak di pesisir laut. Kadang berjalan kaki turun gunung, kadang menumpang colt, kadang diantar oleh anak tertuanya.

Cepo Emak yang tertumpuk membisu menunggu dijual, bercerita pada saya tentang banyak hal. Mungkin dahulu, cepo itu dibuat Emak untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Seperti layaknya penduduk desa yang masih jauh dari hingar bingar konsumerisme ala kota, ada daftar panjang kebutuhan harian yang masih mampu mereka penuhi tanpa campur tangan uang. Contoh terdekat tentu saja penduduk dusun Serambah ini. Mereka mampu memenuhi kebutuhan pangan berupa beras selama satu tahun penuh dari sawah-sawah luas yang membentang hingga ke bukit seberang. Beragam tanaman pangan tumbuh sembarangan - ditanam begitu saja tanpa perawatan - siap dipanen kapanpun empunya mau. Buah-buahan menggantung di pohon menggoda setiap orang yang lewat di bawahnya. Jika mereka ingin ikan, cukup ambil jaring dan turun ke laut mencari beberapa keranjang ikan rencek. Saat angin besar, persediaan ikan kering yang sudah dibuat sejak beberapa bulan sebelumnya siap mengambil alih meja makan. Di sekitar mereka, tumbuh berserakan pohon jati, mahoni, dan pohon berkayu kualitas nomor satu untuk kebutuhan papan. Mungkin satu-satunya yang harus mereka beli adalah baju yang melekat di badan.
Kemudian keputusan pemerintah datang menghakimi: mereka diklasifikasikan dalam golongan rakyat miskin dan perlu dibantu. Penghasilan mereka berada di bawah garis miskin yang ditetapkan penguasa negara. Dianggap tak punya uang dan tak mampu menghidupi diri dengan layak. Lalu datanglah berton-ton beras raskin dari gudang bulog yang kualitasnya jauh di bawah kualitas beras yang tersimpan di lumbung padi. Sembako murah menjadi dewa yang ditunggu setiap bulannya. Ada lagi beragam bantuan khusus masyarakat miskin dan daerah terpencil yang datang tak rutin dan dihiasi potongan akibat birokrasi super panjang. Anak-anak di sekolah dasar mendapat bingkisan manis dari program pemberdayaan masyarakat berupa peralatan sekolah lengkap yang entah apakah uangnya sudah ditilep dulu sebagian oleh penanggung jawabnya di desa. Masyarakat yang sebelumnya berdikari ini kemudian menjadi ketergantungan, paling tidak seperti itulah kelihatannya, menunggu uluran tangan pemerintah untuk menyelamatkan mereka dari jurang kemiskinan.

Mereka disebut miskin oleh orang-orang yang sebenarnya jauh lebih miskin dari mereka. Miskin karena ketiadaan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara orang-orang di desa ini, sebenarnya sangat kaya. Mereka dikelilingi sumber daya alam yang jumlahnya begitu berlimpah, menjamin keberlangsungan hidup hingga anak cucu bergenerasi kemudian dengan syarat, sumber daya alam tersebut tidak diperkosa habis-habisan tanpa memperhatikan keberlanjutannya.

Rumah-rumah itu, yang dibuat sederhana dari kayu atau bambu, adalah rumah yang mereka bangun dengan jerih payah sendiri. Mereka berlimpah bantuan gratis dari tetangga sekitar yang siap menolong hingga rumah tersebut siap ditempati. Lalu lagi-lagi datanglah pemerintah yang semena-mena menyatakan bahwa rumah ini tidak layak huni. Padahal sesungguhnya rumah itu adalah cerminan kebutuhan mereka yang sederhana. Macam-macam kebutuhan hanya untuk orang yang terhimpit sesaknya kota. Mereka tidak butuh ruang tamu karena setiap tamu akan dianggap keluarga sehingga tidak dibutuhkan batas privasi untuk si tuan rumah. Lupakan ruang keluarga karena setiap sudut rumah adalah tempat bercengkrama. Apalah arti genteng berkilau yang berat karena atap daun aren mampu mendinginkan rumah dan tahan hingga satu dasawarsa. Rumah itu tidak membutuhkan jendela berpelitur yang didatangkan dari Jawa, semua yang mereka bangun adalah hasil kearifan lokal ratusan tahun lamanya. Tapi kepercayaan diri mereka runtuh akibat bayang-bayang ucapan pemerintah: rumah ini rumah orang miskin. Dengan uang terbatas, rumah-rumah itu direnovasi dan bahkan beberapa diantaranya terlihat berlebihan.

Saya pernah mengendarai motor mengelilingi Bawean yang luasnya lebih kecil dari Jakarta. Betapa terkejutnya saya, rumah-rumah penduduk nampak sangat serupa. Rumah bergaya minimalis - begitu katanya - dengan warna cat mentereng dan genteng berwarna-warni menghiasi tepian jalan Bawean. Rumah-rumah itu berpagar tajam dengan teras sempit dan pintu megah yang senantiasa tertutup. Saya kemudian berkaca pada dusun tempat tinggal saya ini. Antara satu rumah dengan rumah lain tidak ada pagar penghalang yang mematikan interaksi, langit-langitnya pendek tetapi tidak membuat gerah suasana rumah, teras luas dengan amben untuk siapapun yang ingin tidur, jedhing besar yang dapat dipakai beberapa keluarga, durung (saung) untuk menyimpan beras dan beristirahat, dan tentu saja, rumah itu didesain sesuai kebutuhan, bukannya berkiblat pada bangunan kota yang monoton.

Ada lagi. Beragam umbi-umbian yang dijadikan makanan pokok penduduk desa, seakan terpaksa harus mengakui keperkasaan swasembada beras pada orde baru lalu. Program pemerintah yang digadang-gadang sangat sukses ini telah sukses pula menggeser keberadaan tanaman pangan sumber karbohidrat lainnya ke jajaran makanan kelas dua. Singkong, ubi, gadung, gembili, sagu, dan rentetan jenis tanaman pangan lainnya, dianggap tidak layak untuk memenuhi gizi masyarakat kita. Buktinya? Baca saja berita-berita tentang kelaparan di surat kabar. Ada sebuah keluarga dikasihani karena setiap hari makannya hanya singkong dan ubi. Masyarakat di belahan timur Indonesia menjadi berita karena selalu makan sagu dan jagung. Mereka tidak makan nasi, dan memang itulah yang disediakan alam untuk mereka makan. Tetapi lagi-lagi, kepercayaan diri mereka runtuh karena tudingan orang-orang kota sana yang menganggap bahwa makanan tersebut adalah makanan milik orang tak mampu.

Orang-orang desa itu, kini juga menghamba pada televisi. Hiburan semu yang menawarkan kesenangan ala ibukota, film-film yang didramatisir, berita gemerlap kehidupan artis dan segala kemewahannya, mampu membekukan tatapan mata agar tetap fokus pada tabung kaca yang dihidupkan 24 jam sehari tersebut. Secara kasar, tontonan televisi dianggap dapat menambah informasi dan membuka wawasan. Kita lupa syarat tambahan: penontonnya harus pandai menyaring informasi. Nyatanya, apa yang mereka lihat bukanlah dunia yang sesungguhnya di luar sana. Paradigma mereka tentang kota menjadi absurd, tidak riil, dan penuh berita bohong yang tersimpan ke alam bawah sadarnya. Ketiga kalinya kepercayaan diri diruntuhkan oleh gambar-gambar visual semu tentang miskin dan kaya.

Akankah pada akhirnya kita menjadi begitu serupa: membeli semua kebutuhan dan tidak mampu memenuhinya dengan kemampuan sendiri? Apakah definisi kaya adalah mempunyai banyak uang dan mampu membeli berbagai keperluan? Apa itu sebenarnya miskin? Apakah kaya dan miskin selalu dikaitkan dengan penghasilan?

"Ibu pasti orang kaya ya?" tanya Emak pada suatu sore.
"Kok Emak bilang begitu?"
"Enggi, cak na Ibu e dissan emeleh sakabbhina. Ibu banyak pesena. Bengkona Ibu tingkat dedua, andi sepeda banyak, tak macam eshon e dina Bu. Eshon tak andi pese." (Iya, kata Ibu disana dibeli semuanya. Brarti ibu punya uang banyak. Rumah ibu dua tingkat, punya motor banyak, tak seperti saya di sini bu, saya ngga punya uang, - pen.)
"Emak, justru Emaklah yang kaya dan saya yang miskin. Saya miskin karena semuanya harus beli, saya ngga punya apa-apa. Kalau uang saya habis, saya ngga bisa ngapa-ngapain. Emak? Kalo Emak ngga punya uang, Emak masih bisa hidup layak, semuanya tersedia. Semuanya bisa dibuat sendiri. Rumah kami di sana terpaksa dibuat tingkat karena ngga punya tanah luas seperti Emak di sini. Emak mau bikin rumah seluas lapangan sepakbola juga bisa. Hayo, siapa yang sebenernya kaya?"
Emak tergelak mendengar jawaban panjang saya tersebut. “Iya ya Bu, biar rumahnya jelek yang penting pemiliknya hatinya kaya…” sambungnya, mengulang apa yang pernah saya ucapkan ketika pertama datang di rumah Emak.

Cepo Mak Masnah kembali membisu. Ia harus bersiap dijual esok hari demi lembaran-lembaran rupiah yang lusuh. Uangnya akan digunakan untuk membeli bensin dan pulsa anak pertamanya, sesuatu yang tak pernah Emak punya di masa lalu.

Saat berada di sini, saya sering membayangkan sebuah komunitas mandiri di mana seluruh anggota komunitasnya mampu memenghidupi dirinya sendiri. Hei, apakah sebenarnya saya sendiri yang mendewakan uang sehingga terpikir membuat tulisan ini?

*Tulisan ini saya buat tanpa referensi yang cukup. Hanya atas dasar pemikiran sekenanya dengan logika suka-suka. Apabila ada yang tidak berkenan, maklumi saja ya. Ini sebatas tumpahan kekesalan atas label miskin yang disematkan pada Emak sehingga beliau berhak menerima BLT. Tidak, Mak saya tidak miskin. Ia kaya dengan caranya sendiri. Itulah mengapa saya sangat suka tinggal di desa. They live happily with their own way.