Cinta Sekeping Gili




Betapa diberkahinya saya ditugaskan di pulau kecil nan subur ini. Tanah perbukitannya yang subur saling berjajar membentuk barisan menawan sesekali ditutupi larik-larik awan. Hijaunya sawah menyejukkan mata, ditingkahi debur ombak berkilauan yang berjarak tak lebih dari dua puluh depa. Inilah Bawean, pulau penuh keajaiban yang terapung tenang di tengah Laut Jawa.



Mungkin ribuan tahun yang lalu Bawean adalah sebuah gunung api purba yang besar. Di tengah-tengah pulau ini terdapat danau dalam berwarna biru kehijauan yang dikeramatkan penduduk Bawean. Tak seperti pulau-pulau kecil di tengah lautan lepas yang kering kerontang, ribuan mata air menjamin kesuburan tanah Bawean. Tak perlu heran melihat persawahan menghijau yang bersebelahan dengan pantai berpasir putih dan air di sawah tersebut tetap tawar rasanya. Jalanan utama Bawean bersebelahan langsung dengan lautan dengan berbagai rupa warna dan pemandangan matahari terbit dan terbenam yang bisa didapatkan dalam satu lompatan langkah saja.

Ada satu pulau favorit yang senantiasa saya kunjungi ketika libur sekolah, yaitu Pulau Gili Timur. Di pulau inilah Tika, rekan satu penempatan saya ditugaskan untuk mengajar. Konon, luasnya tak lebih dari Senayan dan jaraknya hanya setengah jam berperahu klotok dari Pulau Bawean. Gradasi warna laut di seputaran pulau selalu sukses membuat saya tak berpaling saat melewati dermaga Gili. Dan hebatnya, di pulau kecil ini ada sumber air tawar. Warga Gili tak perlu susah-susah mengangkut air dari daratan.

Jika saya sebutkan dermaga, janganlah jauh-jauh membayangkan dermaga modern seperti di Jawa. Dermaga penyeberangan menuju Gili hanyalah sebuah jalan setapak di tepi muara yang ditinggikan dari permukaan air di sekitarnya. Saat air laut surut kapal tak dapat merapat sehingga kita harus berjalan kaki dari dermaga ke kapal. Dengan ketinggian air bervariasi dari selutut saja hingga seperut, perjalanan ke Gili menjadi perjalanan berlumpur yang benar-benar basah.





Ada satu spot yang membuat saya langsung teringat akan Pulau Morotai di Maluku Utara. Sebuah gosong pasir panjang berujung pada pulau kecil tak berpenghuni begitu mirip dengan Pulau Dodola di Morotai sana. Orang setempat menyebutnya Pulau Noko. Saat surut, kita bisa berjalan kaki dari Gili ke Noko dengan tinggi air hanya mencapai pinggang saja. Airnya jernih kebiruan dengan pasir putih yang halus. Di sebelah barat Noko ada satu spot menyelam yang masih cukup baik, di sana terdapat ragam karang meja dan berbagai jenis koral lain. Sayangnya saat mencoba menyelam di sana, angin sedang kencang-kencangnya. Air laut menjadi keruh dan saya terombang-ambing sampai terus menabrak kapal saat menyelam. Maklum, masih pemula tidak berani jauh-jauh dari kapal. Apalagi beberapa meter dari spot kami langsung menuju slope dengan kemiringan yang cukup curam.



Anak-anak Gili selalu setia menemani kami berkeliling pulau. Mereka adalah pemandu jalan terbaik yang kami temui. Anak-anak Gili selalu punya kegiatan menarik mulai dari mencari kerang dan keong, mewarnai kuku dengan pacar, bermain sampan di Noko, membakar ikan, atau sekedar bersantai di hammock tali di bawah pohon kelapa.

Sisanya, biarkan foto yang bicara. Silakan mampir ke link berikut ini untuk foto-foto lengkapnya.


Saya tunggu di Gili :)