Cerita Tentang Kedai Ibu

Sebenarnya saya ingin melanjutkan menulis ttg Kelana Nusa Tenggara, tetapi rupanya tangan lebih tergerak untuk membuat tulisan ini.

Ibu saya membuka sebuah kedai makan di rumah. Tidak begitu besar, hanya diisi beberapa meja dan kursi untuk para pelanggan yang ingin makan langsung di sana. Masakan yang disediakan pun hanya masakan ala rumah Jawa. Rumah kami memang berada dekat dari kampus dan dikelilingi banyak kos-kosan. Inilah yang membuat Ibu memutuskan untuk membuka kedai makan pada lebih dari tiga tahun yang lalu.

Pada dasarnya, Ibu suka sekali memasak. Sejak kecil beliau sudah terbiasa membantu eyang saya yang juga membuka rumah makan. Sejak kecil saya tidak terbiasa jajan karena memang semua makanan sudah disediakan oleh Ibu di rumah. Masa-masa kejayaan perut saya adalah saat Ibu masih membuka katering roti dan kue karena sembari membantu Ibu memasak kue, saya bisa melahap remah-remahnya seenak jidat.

Kedai makan Ibu punya pelanggan-pelanggan setia yang senantiasa mampir hampir setiap hari. Mereka adalah para mahasiswa, ibu rumah tangga yang tidak memasak, pekerja kantoran, hingga para tukang dan penjual keliling. Ibu mengenal satu persatu pelanggannya meskipun makin hari jumlah mereka makin banyak. Beliau mampu menghafal si A makan pakai apa, si B biasa ambil lauk yang mana, dan seterusnya. Mungkin semacam ada database pelanggan di otak Ibu yang sudah diset otomatis, hahaha. Kebiasaan Ibu ini membuat beliau seakan-akan punya banyak anak yang tidak lain adalah para mahasiswa langganan kedai makannya.

Seperti halnya memasakkan untuk sang anak, apabila ada permintaan khusus dari pelanggan Ibu akan berusaha memenuhinya. "Bu, mbok besok masak terong balado yang pedes," maka Ibu dengan senang hati membuat masakan tersebut. "Bu, tempenya sudah matang?" maka Ibu akan tergopoh-gopoh menyuruh mbak rewang mengambil tempe goreng dari dapur. Ibu juga terkadang tidak tega melihat pelanggan mahasiswa yang mungkin kehabisan uang sehingga beliau akan menambahkan nasi atau lauk sederhana. Mungkin karena perilaku inilah Ibu begitu disayang oleh 'anak-anak'nya tadi.

Saya sering tidak habis pikir dengan Ibu yang tidak mau mengambil untung banyak meskipun seharusnya beliau bisa melakukannya. Ibu memang begitu mengikuti falsafah orang Jawa: yang penting sudah cukup, tidak perlu dilebih-lebihkan. Dan hebatnya, beliau terlihat bahagia bisa 'memberi makan' begitu banyak orang, sesuai dengan passionnya di dunia masak. Duh, seharusnya saya bisa belajar ini dari beliau.

Tanpa disadari oleh dirinya sendiri, Ibu telah melakukan strategi marketing paling tokcer untuk menjaga hubungannya dengan pelanggan. Satu hal yang kemudian saya pelajari dari apa yang beliau lakukan: selama usaha dilakukan dengan hati dan penuh kesenangan, kita tidak butuh strategi marketing canggih untuk mempertahankan perusahaan. Boleh percaya boleh tidak, tetapi Ibu saya sudah membuktikannya.