Artikel Pendakian Merbabu di National Geographic Traveler Desember 2012






Mengakrabi Tujuh Puncak Merbabu 
*dimuat di National Geographic Traveler, Desember 2012 

Paras rupawan gunung ini mengundang petualang merayapi sisi-sisi punggungnya.

Langit yang memayungi Merbabu, malam itu, bertabung gemintang yang bersinar terang. Pada pertengahan tahun, cuaca cenderung cerah dan suhu udara belum mencapai titik terdinginnya. Gunung di Jawa Tengah ini pun menunjukkan keramahannya yang khas. Saya bersama 15 rekan pendaki bergegas meninggalkan basecamp di Desa Tuk Pakis Selo, Boyolali. Kaki-kaki kami menyusuri jalan setapak pada punggungan landai di ketinggian 1.680 meter di atas permukaan laut.

Jalur Selo adalah salah satu jalur pendakian yang paling populer dibandingan jalur Cunthel, Thekelan, dan Wekas karena beragamnya bentang alam yang menawan. Trek yang lebih panjang dan melelahkan biasanya membuat para pendaki memilih untuk mendaki dari Wekas dan turun lewat Selo agar dapat menikmati lansekap cantik khas Merbabu: padang sabana, edelweis (Anaphalis javanica), dan gemunung hijau. Selama satu jam kami menyusuri jalur pendakian dengan vegetasi yang didominasi hutan homogen lebat kemudian tiba di pos pertama, Dok Malang. Setelah beristirahat sesaat, perjalanan dilanjutkan melewati jalur baru yang mulai sempit danmenanjak, tanaman tumbuh lebih rapat daripada sebelumnya. Angin yang berhembus kencang menimbulkan suara misterius di pucuk pepohonan dan sempat membuat kami khawatir terjadinya badai. Untunglah ketika tiba di Pos II yang berada di sisi padang rumput, kami tidak melihat tanda-tanda badai khas Merapi yang dihindari para pendaki.

Kami sengaja mendaki pada malam hari untuk menghindari panas terik yang membakar kulit dan mengeringkan kerongkongan. Tidak ada sumber air di sepanjang jalur sehingga perbekalan harus dihemat. Tetapi kami dihadapkan pada konsekuensi atas pilihan kami sendiri. Beranjak dari Pos II, kami tersesat di padang sabana dan selama hampir satu jam berputar-putar mencari jalan keluar. Leader pendakian yang seharusnya sudah mafhum jalur ini pun kebingungan dan berkali-kali bergumam,”Seharusnya ada jalan di sini.” Beberapa teman mulai khawatir dan suara canda tak lagi terdengar.

Tak kunjung menemukan jalur yang benar, kami memutuskan beristirahat dan membangun camp sembari menunggu matahari terbit sesaat lagi. Menjelang pukul lima, langit timur beranjak terang dan kami mendapati momen matahari terbit yang menakjubkan. Gunung Merapi yang sebelumnya hanya berupa siluet pun mulai nampak gagah diterpa cahaya pagi yang magis. Gunung Lawu membiru di kejauhan dengan puncaknya yang memanjang seakan menyembul dari lautan awan. Dan kami baru menyadari bahwa jalur pendakian yang hilang itu terletak hanya beberapa meter dari tempat tenda berdiri!

Pukul sepuluh siang, separuh dari kami memutuskan untuk menunggu di basecamp sembari memasak dan membereskan tenda, sementara sisanya mendaki ke puncak.

Trek selepas Pos III Watu Tulis mulai licin dan menanjak tajam. Kami disambut padang sabana luas dengan pepohonan bergerombol di beberapa sisi yang menawarkan keteduhan. Terpisah bukit, terdapat beberapa padang sabana lain yang biasa digunakan para pendaki untuk berkemah. Kami mungkin hanya nampak seperti titik hitam kecil di antara luasnya sabana ini. Ingin rasanya duduk berlama-lama, tetapi waktu yang terus berjalan memaksa kami melanjutkan pendakian.

Merbabu dikenal dengan tujuh puncak bayangan yang memberikan harapan sesaat bagi pendaki. Setiap satu puncak selesai dicapai, rupanya ada puncak lain yang lebih tinggi menguji stamina. Berlalu dari Pos V, jalur pendakian menjadi lebih curam dan tak jarang kami harus berpegangan pada rerumputan di kanan kiri jalur sembari merangkak. Tubuh yang kelelahan kembali mendapat semangat ketika melihat gerombolan edelweis yang belum pernah kami lihat bertumbuh setinggi ini. Apalagi tiap menengok ke belakang Merapi senantiasa membayangi. Tampak begitu jelas, tanpa ditutupi selapis awan.

Tepat saat matahari di atas ubun-ubun, akhirnya kami tiba di puncak triangulasi Merbabu 3.142 meter di atas permukaan laut. Tampak jelas deretan gunung di Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti si kembar Sumbing Sindoro yang anggun. Sekitar seratus meter dari puncak triangulasi, menjulang puncak Kenteng Songo yang begitu terkenal dengan mitos sembilan batu lumpangnya yang hanya dapat dilihat orang tertentu saja. Sementara kami hanya melihat empat batu lumpang yang terserak di puncak.

Setelah beristirahat sebentar dan menikmati pemandangan, kami turun menggunakan jalur yang sama secara perlahan karena lutut yang mulai meronta menahan beban tubuh. Tetapi semua rasa lelah terlupakan ketika mengingat perkataan seorang teman, “Mendakilah, di puncak-puncak gunung sana kau akan bersyukur hidup di Indonesia.”

***