Bait Permulaan

pada suatu sore yang biasa

Helideck KRI Surabaya 591, Minggu 2 September 2012. 

Saya duduk menulis ini saat matahari terbenam di perjalanan menuju Ambon. Air laut sedikit bergelombang tetapi tidak menghalangi laju kapal kami untuk terus berlayar menuju ke timur. Kapal besar milik rakyat Indonesia seberat 11.800 ton ini telah menjadi rumah saya selama enam hari terakhir dimana saya bersama ratusan peserta dan ABK kapal, kami terombang-ambing, in the middle of nowhere.

Saya pun pernah punya mimpi untuk berkeliling Indonesia dengan kapal seperti dua inspirator saya: Farid Gaban dan Ahmad Yunus yang melakukan ekspedisi zamrud khatulistiwa. Seakan terdoktrin dalam pikiran bahwa saya tidak akan benar-benar mengenal negara ini sebelum menjelajahi tiap sudut pelosoknya dengan kaki sendiri. Siapa sangka, janji sekaligus mimpi tersebut mampu terpenuhi sekaligus dengan cara yang tidak pernah saya duga sebelumnya.

Tuhan begitu romantis dalam membuat umatNya senantiasa mensyukuri hidup.

Ada perasaan campur aduk ketika pertama kali memasuki tank deck kapal pada awal minggu yang lalu. Rasa senang bercampur gelisah memenuhi ruang kepala saya yang sudah sarat akan berbagai hal. Saat itu saya sudah paham betul bahwa keberangkatan saya dibiayai dari pajak yang dibayarkan oleh penduduk Indonesia. Anggaran yang dihabiskan untuk memberangkatkan kami, para wakil daerah menuju lokasi perhelatan Sail Indonesia di Morotai tentu tidak murah. Ongkos operasional KRI Surabaya selama satu hari mencapai 300 juta rupiah, believe it or not, belum lagi berbagai biaya tambahan yang membebani APBN negara.

Helideck sudah benar-benar sepi. Lantunan ayat-ayat suci dari imam yang memimpin solat magrib hanya terdengar seperti bisikan yang ditenggelamkan oleh bisingnya suara mesin kapal. Sisa-sisa senja ini terlalu cantik untuk saya lewatkan meskipun mendung mulai datang.


Menjalani hari-hari di atas kapal dengan cara semi militer menjadi sebuah pengalaman baru yang sangat menyenangkan untuk diingat kembali suatu hari nanti. Kami mendapatkan kesempatan mengenal dari dekat sebuah kapal perang tipe carrier bernomor lambung 591 ini dan seluruh awak kapal di dalamnya. Kami tidur di kamar seperti barak tentara dengan kasur bertingkat yang memiliki panjang hanya sekitar 160 cm. Saya tidak pernah bisa duduk tegak di atas kasur karena tingginya tidak lebih dari seorang anak kecil seumur tiga tahun. Kami, para wanita dengan jumlah mencapai 120 orang harus mandi bergantian dalam sebuah kamar mandi dengan lima shower tanpa sekat yang pengap dan penuh dengan jemuran. Rasa malu dan risih hanya membuat kami tidak bisa mandi. Makan sehari tiga kali dengan menu selalu sama: pagi telur, siang ayam, dan malam hari ikan goreng, disajikan dalam sebuah piring ompreng yang mampu menampung hingga tiga porsi makan.

Perintah para anggota satgas yang sekilas terdengar seperti bentakan begitu akrab dengan telinga saya yang lebih sering dianggap sebagai angin lalu. Kami pun akrab dengan berbagai seremonial, apel pagi-malam, yel-yel dan jargon penyemangat, serta lagu mars yang katanya harus selalu kami hafalkan.

Padahal sudah jelas, nasionalisme tidak dapat dibangun hanya dengan yel-yel, jargon, mars, acara baris-berbaris, atau apapun yang berkaitan dengan itu.

Satu minggu tinggal di kapal ini, saya mulai paham bagaimana bergaul dengan gelombang besar. Laut Banda sudah kami lewati tadi malam dan saya berhasil tidak mabuk laut seperti dahulu pernah terjadi di acara seleksi di Laut Selatan. Cara berjalan di dalam lorong memang masih oleng kesana-kemari tetapi itu dapat dimaklumi. Tidur dan makan menjadi obat paling ampuh ketika gelombang tidak bersahabat, mual pun dilawan dengan candaan bersama teman-teman satu kamar atau joget trekjing TNI AL yang kocak itu.

Puncak acara masih dilaksanakan dua minggu lagi. Kami akan tiba di Ambon sebagai etape pertama, mungkin besok atau lusa. Saya tidak pernah tahu bagaimana cerita ini akan berakhir dan apa saja yang akan saya dapatkan sepanjang pelayaran nanti. Harapan saya sangat besar, acara puncak Sail Morotai dapat terlaksana dengan baik dan mampu memberikan manfaat bagi penduduk sekitar dan tentu saja, seluruh rakyat Indonesia.

Tiba-tiba preyen KRI berbunyi: ruangan-ruangan, diinformasikan kepada seluruh peserta Sail Morotai 2012, apel malam akan dilaksanakan pada pukul 19.30 Waktu Indonesia Tengah.

Aih, saya harus bergegas mandi. Cerita ini pasti akan saya lanjutkan. Mungkin agak sedikit lama dan tidak di blog ini pula. Anggaplah ini hanya sebagai bait permulaan agar saya sendiri tidak lupa bahwa saya punya tugas: berbagi ilmu dan cerita.

Jadi, sesederhana ini bahagia. Pada suatu sore yang biasa di atas helideck KRI Surabaya.

Paging Rifian Ernando, ayo semangat menulis. Menolak lupa!