Ketika Waisak Penuh Sesak

 

Di bulan Mei yang seharusnya sudah memasuki musim kemarau ini, Jogjakarta masih saja diguyur hujan. Mungkin ini sisa-sisa rintik hujan bulan April yang belum selesai. Begitupun pada hari Minggu kemarin, saya dengan tenaga yang menipis setelah lava tour di Kaliadem, berangkat menembus hujan yang benar-benar menyakitkan. Menuju kosan Debbie yang sebenarnya hanya berjarak 1 kilometer dari rumah saya, tetapi rintik hujan yang besar menghujam kulit membuat saya harus mengendarai motor perlahan.

Kami akan berangkat ke kompleks candi Borobudur. Menyaksikan Perayaan Trisuci Waisak 2556 BE yang sudah saya tunggu-tunggu sejak setahun sebelumnya. Sebentar, menyaksikan? Hmm saya rasa ini bukanlah pemilihan diksi yang tepat. Tapi memang itulah yang ingin kami lakukan di sana.

Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa ia tidak tertarik menonton Waisak. "Buat apa nontonin orang lagi ibadah? Itu kayak kita lagi sholat...tunggu, lagi haji... terus kita ditontonin orang gitu."

Saya mengangguk perlahan. Jauh di dalam lubuk hati, saya mengiyakan pernyataannya yang sekilas begitu apatis tersebut. Saya setuju bukan tanpa alasan. Kira-kira sebulan sebelumnya, saya pernah mengunjungi rumah seorang Buddhis di kaki gunung Merbabu. Di situ kami banyak berbincang dan sedikit banyak saya tahu makna perayaan Waisak. Tidak perlu saya ceritakan di sini ya, ada banyak sekali referensi di internet yang lebih terpercaya daripada celotehan saya :)

Di akhir pembicaraan, saya menanyakan apakah beliau akan datang ke Borobudur bersama umat Buddha di desa tersebut. Saya terhenyak mendengar jawabannya.

"Saya tahun lalu tidak datang ke Waisak. Besok tidak tahu. Borobudur kalau Waisak itu ramai sekali. Saya nggak pernah bisa khusyuk berdoa dan meditasi kalo di Borobudur."

Dan ternyata benar, ia lebih memilih untuk berdoa bersama sebagian umat di sebuah vihara sederhana di dekat rumahnya.

***
Hujan masih mengguyur bumi Magelang ketika kami tiba di pelataran parkir candi Borobudur. Saya cukup lega, parkiran mobil tidak penuh. Mungkin banyak pengunjung yang sudah pulang atau justru malas datang karena hujan sesiangan ini, deras pula. Perbukitan di sekeliling Borobudur yang biasanya nampak menaungi ketika langit cerah, siang itu tidak terlihat sama sekali. Kami dikelilingi kabut yang semakin membuat udara siang itu semakin dingin.

Sampai di dalam, telah bertebaran tenda-tenda putih milik umat Buddha yang tengah merayakan Waisak. Umat terbagi dalam beberapa aliran, yang saya tahu adalah Mahayana dan Theravada, sehingga prosesi doa pun berbeda-beda tergantung pada aliran yang dianut. Pengunjung bercampur dengan umat, jalan setapak menuju pelataran candi penuh sesak. Penjual jas hujan lima ribuan dan persewaan payung laris manis, jalanan dipenuhi manusia berbungkus plastik berwarna-warni yang berjalan mengikuti arus menuju candi.

Di tengah perjalanan, saya mampir ke sebuah tenda yang memiliki panggung kecil dengan altar yang begitu menarik perhatian. Ada biksu-biksu yang duduk berbaris di depan altar mengucap doa diikuti ratusan umat yang duduk berteduh di bawah tenda. Ketika saya mendekati altar untuk sekedar mendengarkan doa-doa yang para biksu tersebut lafalkan, seorang wanita berjilbab dengan cepatnya merangsek ke depan saya, maju tanpa permisi memotret para biksu, dengan lampu flash! Saya langsung naik darah karena si mbak berjilbab memotret tanpa tahu unggah-ungguhnya. Bukan, bukan karena dia seenaknya membalap saya, tapi karena bagaimanapun juga itu adalah sebuah perayaan suci agama. Sembarangan memotret dan menganggu prosesi adalah salah satu bentuk intoleransi terhadap umat lain bukan? 

Seketika saya melepas pandangan ke seluruh tenda. Rupanya cukup banyak 'wartawan dadakan' yang bersikap seperti mbak satu tadi. Menganggap umat dan para biksu yang tengah melangsungkan prosesi sebagai sebuah objek foto mati semata. Ayolah, dengan anda membawa kamera, bukan berarti anda bisa seenaknya melewati batas privasi orang lain. Siapa yang tidak terganggu ketika moncong kamera begitu dekat dengan wajahnya, memotret tanpa minta izin, dan meninggalkan begitu saja tanpa mengucap terima kasih atau sekedar menyapa.

Sebenarnya, saat berangkat pun saya punya niatan untuk mendokumentasikan perayaan Trisuci Waisak. Ingin memperlihatkan bagaimana umat dan pengunjung benar-benar larut dalam perayaan tersebut dan memposisikannya sebagai sebuah acara yang begitu ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Tetapi rupanya mimpi tidak sama dengan kenyataan. Memang daya tarik perayaan Waisak yang dilangsungkan di Borobudur itu begitu besaaaar. Tapi juga benar kata Buddhis di kaki gunung yang saya wawancarai, bagaimana bisa mendapatkan kekhusyukan berdoa di tengah ramainya pengunjung dan banyaknya fotografer yang memotret tanpa mau ketinggalan momen? 

Saya, pun ribuan pengunjung lain, mungkin memang memiliki rasa penasaran yang sama tentang bagaimana perayaan Waisak itu dilangsungkan. Tetapi tidak semua pengunjung kemudian memiliki rasa hormat dan tetap respek terhadap para umat yang memang benar-benar ingin berdoa dan merayakan Waisak dengan penuh khidmat. Dan toleransi umat beragama tersebut bisa kita tunjukkan dari hal-hal sederhana, misalkan tidak berisik atau membuat gaduh di tenda ketika umat sedang berdoa, tidak menghalangi jalan umat yang akan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, tidak seenaknya memotret biksu-biksu yang sedang meditasi tanpa unggah-ungguh yang benar, tidak merokok di area candi (banyak sekali yang melakukan ini!) dan hal yang paling kecil yang sering dilupakan: ikut menjaga kebersihan area perayaan dengan tidak membuang sampah sembarangan. 

Bahkan saat menunggu pradhakshina (biksu dan umat mengelilingi candi Borobudur sebanyak tiga kali), ada saja fotografer yang tidak hanya kurang menghormati umat, tetapi juga sesama fotografer dan pengunjung lain. Entah untuk keberapa kalinya, seorang wanita dengan kamera DSLR dan lensa telenya, memposisikan diri di depan kami, yang dari setengah jam sebelumnya sudah ngetag posisi nyaman duduk di atas rumput di barisan terdepan untuk menyaksikan pradhaksina. Tanpa ucapan maaf atau sekedar meminta izin, ia berdiri memantati kami dan membuat saya kehilangan mood untuk melihat pradhaksina.

Pada akhirnya saya lebih tertarik mendokumentasikan tingkah teman-teman saya yang begitu bahagia berada di tengah area candi Borobudur yang memang selalu mempesona. Beruntunglah, momen terakhir ketika kami menerbangkan ratusan lampion ke langit Borobudur, dengan latar belakang purnama dan stupa Borobudur yang bersinar, mampu mengembalikan mood saya. Tetapi secara keseluruhan, saya sangat menikmati prosesi Waisak ini karena saya mendapatkan banyak sekali hal-hal baru yang memperkaya.

Semua orang bisa menjadi turis. Tetapi tidak semua orang bisa menjadi turis yang bermoral dan berperilaku baik :)