Untuk Suamiku Di Masa Depan

Tidak terasa sudah bulan keenam di 2012. Aku masih menenangkan diri setelah seharian ini terlalu banyak ide berlari liar di otakku. Aku mencoba untuk tidak memikirkan apapun, tetapi entah mengapa malam ini aku kepikiran melulu.

Hingga kini tidak pernah aku tahu seperti apakah parasmu. Aku selalu berdoa Tuhan memberikan barang sedikit bocoran agar aku dapat mengintipmu di dalam mimpiku, tapi itu nihil. Tuhan masih membiarkanmu bersembunyi di dalam selubung misteri yang bahkan untuk menebaknya pun aku tak pernah sanggup. Tapi aku percaya, Ia telah menjalinkan benang merah takkasat mata seperti yang sering aku lihat di film-film. Benang ini mungkin hanya beberapa meter, atau beberapa puluh meter, atau beberapa puluh kilometer, atau beberapa ribu kilometer panjangnya, itu yang aku tak tahu. Yang jelas kita sudah saling terhubung dan akan ada saatnya kita bertemu untuk saling mencintai sampai mati.

Aku selalu berdoa bisa menemuimu di kesempatan hidupku kali ini. Aku ingin di pertemuan pertama aku sudah bisa menyadari bahwa bersamamulah aku akan menghabiskan masa tuaku. Kita tidak berpacaran dalam waktu lama. Kita menikah dalam kesederhanaan yang hanya menghadirkan keluarga dan teman-teman terdekat. Di sebuah taman terbuka dengan warna-warna musim semi yang cantik. Kita bekerja sesuai dengan kesukaan kita, pulang ke rumah dengan rasa bahagia dan selalu berbagi tentang apa yang kita alami di tempat kerja.

Kau tidak pernah melarangku berjalan bersamamu, mendaki gunung atau menyusur pulau kecil entah di pelosok mana. Karena kamu tahu, aku akan selalu pulang ke rumah. Rumahku, di hatimu.

Kemudian anak pertama lahir dan kita menyayanginya dengan wajar. Anak yang lucu, parasnya begitu mirip denganmu. Ia beranjak besar dan segera mendapatkan adik. Anak pertama kita sudah familiar dengan alam dan binatang. Tiap minggu kamu tidak pernah alpa mengajaknya bersepeda sementara aku mengajak si adik bermain di taman. Kita berempat keluarga kecil yang bahagia.

Rumah kita adalah bangunan sederhana berelemen kayu. Menyerupai bentuk panggung seperti rumah tradisional Kalimantan yang sejuk. Berhalaman luas dengan pohon besar. Gazebo kecil di pinggir kolam dengan ikan-ikan berlompatan. Ayunan untuk anak-anak. Pagar yang rendah agar kita selalu menyapa para tetangga. Sebuah mobil double cabin terparkir rapi di halaman, sebulan sekali kita mengajaknya jalan-jalan ke tempat-tempat baru bersama anak-anak kita.

Kita punya perpustakaan sederhana di bagian depan. Perpustakaan ini memuat begitu banyak buku koleksi kita dan sumbangan teman-teman sejawat. Tiap sore anak-anak tetangga datang turut membaca. Aku mengajar membaca sementara kamu menceritakan sebuah buku kepada anak-anak balita. Sesekali kita undang anak-anak yatim piatu untuk kita berikan kesempatan belajar bersama. Kita bahagia dengan berbagi, begitu selalu kau ingatkan padaku.

Tiap malam dalam doa aku selalu mendoakanmu. Tak lupa mendoakan diriku sendiri. Agar saat kita bertemu nanti kita telah berhasil memantaskan diri: aku pantas untukmu dan sebaliknya terjadi padaku. Lelaki yang baik adalah untuk perempuan yang baik.

Aku selalu mencoba sabar, mengira-ngira kapan kita akan bertemu. Aku takut melewatkanmu. Aku takut kehilangan kamu. Orang bilang, jodoh yang tepat hanya datang satu kali. Tapi aku percaya, aku akan mengetahui ketika saat-saat itu datang.

Selamat malam, suamiku di masa depan.

tertanda,
Istrimu di masa depan.