Hadiah Sepiring Pisang Goreng

'happy 21'
Pertengahan Juli tiga tahun yang lalu, saya terbangun di tengah dinginnya suhu udara sleeper bus yang membawa kami ke daratan Thailand di sisi utara. Pukul dua belas malam lebih sedikit, keempat travelmates saya masih tertidur lelap, kelelahan. Perjalanan masih setengah jarak lagi, enam jam lamanya. Telepon selular yang saya isi dengan nomor lokal bergetar segera setelah diaktifkan. Hanya dua pesan singkat, satunya dari adik, satunya dari lelaki yang terkasih.

"Mbak Kinkin, selamat ulang tahun. Salam dari ibu dan mbak tia. Oleh-oleh jangan lupa." 

Air mata menetes perlahan. Untuk ukuran seorang adik lelaki yang pemalu dan jarang memberi ucapan ulang tahun, pesan singkat ini manis sekali. Seketika saya merindukan keluarga saya di rumah. Begitupun dari lelaki itu, yang masih menemani ulang tahun saya hingga setahun kemudian.

Malam saya habiskan dengan menatap siluet perbukitan Chiang Rai yang hitam yang berkelebat bergantian dengan deretan hutan. Menyesap keheningan bersama pendar lampu di dalam bus dan sesekali melempar senyum pada sang kondektur yang senantiasa menyusuri lorong bus, memastikan seluruh penumpangnya tertidur nyaman. Kemudian pada fajar yang dingin, satu persatu travelmates saya beranjak bangun. Merenggangkan otot kesana-kemari, mengucek-ngucek mata, dan akhirnya satu-satunya teman wanita saya berceletuk, 'Loh, kamu kan ulangtahun kin!' Segera, keempat teman lain bergantian memberikan ucapan selamat dan meminta saya mentraktir mereka makan. Polos sekali, tapi tidak mengada-ada.

Sekilas, tidak ada yang istimewa dengan ulang tahun saya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana memang hari bertambahnya umur tersebut tidak pernah dirayakan, hanya beberapa kali diberi surprise oleh para sahabat, dan itu jauh lebih menyenangkan. Merayakan umur yang bertambah satu bersama mereka yang terkasih membuat suasana terasa lebih intim. Tidak perlu kue tart, kado berlebihan, tiupan terompet atau traktiran mewah, cukup nyanyian selamat ulang tahun yang penuh doa dan harapan.

***

Kemudian tepat pada pertengahan Juli di tahun lalu, saya duduk sendiri di tepian laut Teluk Kao yang tenang. Untuk pertama kalinya saya bangun terlalu pagi dan memilih untuk berjalan ke pantai mencari matahari terbit.  Bersila di bebatuan, di antara perahu dan bagang nelayan yang diombang-ambingkan gelombang pasang. Sinyal segera menyerbu telepon selular yang saya aktifkan, satu sms datang dari sahabat di Jogjakarta. Ucapannya singkat, tetapi datang tepat di pergantian hari di Indonesia Timur.

Siangnya sepulang kami mengajar di SD Akelamokao, saya sempatkan mampir ke warung untuk membeli dua botol Coca Cola dan beberapa buah es lilin. Rencananya, untuk merayakan ulang tahun cukup dengan diri sendiri saja. Tetapi setibanya kami di rumah, teman sepondokan saya mengulurkan tangan dan menjabat saya perlahan. Diiringi ucapan selamat, dia ingat hari ulang tahun saya. Hal ini sungguh mengharukan karena kami berada di tengah segala keterbatasan yang membuat ritme hidup kami melambat, bahkan untuk terus-terusan mengingat hari dan tanggal saja adalah sebuah keajaiban.

Seorang teman yang lain segera membawa sepiring pisang goreng ke ruang tengah. Kami semua sedang berkumpul di situ, mendinginkan tubuh yang kepanasan dijemur sepanjang jalan pulang. Segera, lagu selamat ulangtahun memenuhi ruang, menggema sejauh batas-batas tembok putih kotor rumah kami. Seorang teman mengeluarkan korek gas yang dia punya, dinyalakannya dan dia suruh saya meniupnya. Kemudian saya keluarkan apa yang saya beli di warung tadi untuk menemani sepiring pisang goreng - hadiah ulang tahun saya - untuk dimakan beramai-ramai. Tidak ada yang lebih mewah daripada Coca Cola dingin dan pisang goreng.

Seminggu kemudian, teman-teman KKN dari dua desa lain bertandang ke pondokan kami untuk melakukan rapat koordinasi mingguan dan menyaksikan persiapan kedatangan Sultan Ternate. Kemudian selepas rapat dan mengunjungi Rumah Besar, kami berjalan-jalan ke pantai Teluk Kao hingga tiba di air mata tawar tepat di tepi laut. Kami beristirahat di bawah barisan pohon kelapa dimana Pak Algojo dan anaknya sudah siap dengan parang untuk mengupas kelapa-kelapa muda yang siap santap. Amboi.. rasa segar kelapa muda segera menyiram tenggorokan kami yang kehausan karena sesiangan terus berjalan.

Tanpa menyadari aba-aba dalam diam yang dilakukan teman-teman saya, segera saja saya sudah dalam keadaan tidak mampu berkutik. Hanya dibutuhkan empat manusia membopong saya yang terus berteriak - tapi pasrah - untuk kemudian dilemparkan ke laut! Segera air asin menghajar rongga mulut saya dan seluruh baju saya basah kuyup.

Lagi-lagi, saya terharu. Saya terlalu mudah terharu.

setelah eksekusi

***

Jika Tuhan mengizinkan saya merasakan umur yang bertambah satu lagi, entah ada di mana saat hari itu datang. Sudah tiga tahun saya tidak terbangun di kamar sendiri saat saya telah menua setahun. Tetapi saya selalu berharap, akan berulang tahun di tengah keluarga, di rumah yang sama, dalam perayaan sederhana...